Minggu, 30 November 2008

Anak-Anak Karbitan

Dari milis tetangga....

ANAK-ANAK KARBITAN


Oleh Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD
Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut
Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage
Foundation.

Anak-anak yang digegas Menjadi cepat mekar Cepat matang Cepat layu...Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana mana orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga persekolahanyang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan
anak-anak mereka pelayanan pendidikan yang baik. Taman kanak-kanak pun berdiri dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa.. Kursus-kursus kilat untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang
puluhan ribu hingga jutaan rupiah per bulannya. Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan sehat melalui kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan. Penuh tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi kantung orangtua ...

Captive market! Kondisi diatas terlihat biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi di intenet dan lileratur yang ada tentang bagaimana
pendidikan yang patut bagi anak usia dini, maka kita akan terkejut!
Saat ini hampir sebagian besar penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini melakukan kesalahan. Di samping ketidak patutan yang dilakukan oleh orang tua akibat ketidak tahuannya!
Anak-Anak Yang Digegas...

Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadapanak. Diantaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuanintelektua l secara dini. Akibatnya bermunculanlah anak-anak ajaib dengan kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untukmenjalani akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan kecakapan-kecakapan akademik dl dalam dan di luar sekolah. Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan ini terjadi
pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra seorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang
matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anakjenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian?
James Thurber seorang wartawan terkemuka. pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis.Si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada beberapa waktu silam.

Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi pada seorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952, di mana seorang Ibu yang bernama Aaron Stern telah berhasil melakukan eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan
kognitif anaknya, sejak si anak masih berupa janin.. Baru saja bayi itu lahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang bayi. Kemudian diajak berbicara dengan menggunakan bahasa orang dewasa. Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan
kosa kata baru. Hasilnya sungguh mencengangkan! Di usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun Edith telah menyelesaikan membaca ensiklopedi Britannica. Usia 9 tahun ia membaca enam buah buku dan Koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun dia masuk universitas. Ketika usianya menginjak 15 tahun lamenjadi guru matematika di Michigan State University. Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga.

Namun khabar Edith selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa. Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa. Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang
terkenal yang berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat mereka kecil mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai murid yang dungu.

Seperti halnya Einstien yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun. Selama berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak di masa depan sangat ditentukan oleh faktor kognitif. Otak memang memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu banyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan "Early Childhood Training". Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasanmya. .
Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90 % bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak kiri. Sementara fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10%
saja. Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam proses pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang di mana-rnana, di Indonesia.

"Early Ripe, early Rot...!"

Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 1990 di Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan pentingnya pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini. Orangtua merasa apabila mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, membaca dan menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan 'peluang emas" bagi anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak mereka sesegera mungkin ke Taman Kanak-kanak (Pra Sekolah). Taman Kanak-kanak pun dengan senang hati menerima anak-anak yang masih berusia di bawah usia 4 tahun. Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan membaca dan berhitung secara formal sebagai pemula.

Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amerika sudah dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Mulailah "Era Headstart" merancah dunia pendidikan. Para akademisi begitu optimis untuk membelajarkan wins dan matematika kepada anak sebanyak dan sebisa mereka (tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak tentang anak, apa yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak.

Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan Jerome Bruner, seorang psikolog dari Harvard University yang menulis sebuah buku terkenal "The Process of Education" pada tahun 1990. Ia menyatakan bahwa kompetensi anak untuk belajar sangat tidak berhingga. Inilah buku suci pendidikan yang mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika . "We begin with the hypothesis that any subject can be taught effectively in some intellectually honest way to any child at any
stage of development" .

Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang di salahartikan oleh banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana! Pendidikan dilaksanakan dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang dan cepat busuk... early ripe, early rot!

Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat pra sekolah hingga usia SD. Di rumah para orangtua kemudian juga melakukan hal yang sama, yaitu mengajarkan sedini mungkin anak-anak mereka membaca ketika Glenn Doman menuliskan kiat-kiat praktis membelajarkan bayi membaca.

Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep "kesiapan-readiness " dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang "biological limititations on learning'. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan
intervensi dini dan rangsangan inlelektual dini kepada anak agar mereka segera siap belajar apapun.

Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah membuat anak-anak menjadi cepat mekar. Anak -anak menjadi "miniature orang dewasa ". Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa. Di sisi lain media pun merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku, film, televisi, dan internet. Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas ditonton anak anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media begitu merangsang keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa. sebagai seksual promosi yang menyesatkan. Pendek kata media telah memekarkan bahasa, berpikir dan perilaku anak tumbuh kembang secara cepat.

Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? Apakah faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan seperti halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja
anak terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka tidak seperti orang dewasa. Anak-anak memang terlihat tumbuh cepat di berbagai hal tetapi tidak di semua hal. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda dengan tumbuh mekarnya kecerdasan (intelektual) anak. Oleh karena perkembangan emosi lebih rumit dan sukar, terkait dengan berbagai keadaan, Cobalah perhatikan, khususnya saat perilaku anak menampilkan gaya "kedewasaan ", sementara perasaannya menangis berteriak sebagai "anak".

Seperti sebuah lagu popular yang pernah dinyanyikan suara emas seorang anak laki-laki "Heintje" di era tahun 70-an... I'm Nobody'S Child I'M NOBODY'S CHILD I'M nobody's child I'm nobodys child Just like a flower I'm growing wild No mommies kisses and no daddy's smile Nobody's louch
me I'm nobody's child.

Dampak berikutnya terjadi ... ketika anak memasuki usia remaja Akibat negatif lainnya dari anak-anak karbitan terlihat ketika ia memasuki usia remaja. Mereka tidak segan segan mempertontonkan berbagai macam perilaku yang tidak patut. Patricia O'Brien menamakannya sebagai "The Shrinking of Childhood". Lu belum tahu ya... bahwa gue telah melakukan segalanya", begitu pengakuan seorang remaja pria berusia 12 tahun kepada teman-temannya. "Gue tahu apa itu minuman keras, drug, dan seks" serunya bangga.

Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua menjadi cepat mekar.... kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak dipedulikan! Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh, untuk belajar dan untuk berkembang, sebuah proses dalam kehidupannya !

Saat ini terlihat kecenderungan keluarga muda lapisan menengah ke atas yang berkarier di luar rumah tidak memiliki waktu banyak dengan anak-anak mereka. Atau pun jika si ibu berkarier di dalam rumah, ia lebih mengandalkan tenaga "baby sitter" sebagai pengasuh anak-anaknva. Colette Dowling menamakan ibu-ibu muda kelompok ini sebagai "Cinderella Syndrome" yang senang window shopping, ikut arisan, ke salon memanjakan diri, atau menonton telenovela atau buku romantis. Sebagai bentuk ilusi rnenghindari kehidupan nyata yang mereka jalani.

Kelompok ini akan sangat bangga jika anak-anak mereka bersekolah di
lembaga pendidikan yang mahal, ikut berbagai kegiatan kurikuler, ikut
berbagai Les, dan mengikuti berbagai arena, seperti lomba penyanyi
cilik, lomba model ini dan itu. Para orangtua ini juga sangat bangga
jika anak-anak mereka superior di segala bidang, bukan hanya di
sekolah. Sementara orangtua yang sibuk juga mewakilkan diri mereka
kepada baby sitter terhadap pengasuhan dan pendidikan anak-anak
mereka. Tidak jarang para baby sitter ini mengikuti pendidikan
parenting di lembaga pendidikan eksekutif sebagai wakil dari orang tua.

ERA SUPERKIDS

Kecenderungan orangtua menjadikan anaknva "be special " daripada "be
average or normal" sernakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin
anak-anak mereka menjadi "to excel to be the best". Sebetulnya tidak
ada yang salah. Nanun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai
mengikuti berbagai kepentingan orangtua untuk menyuruh anak mereka
mengikuti beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa,
renang, basket, balet, tari ball, piano, biola, melukis, dan banyak
lagi lainnya...maka lahirlah anak-anak super---"SUPERKIDS' ". Cost
merawat anak superkids ini sangat mahal.

Era Superkids berorientasi kepada "Competent Child". Orangtua saling
berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya "earlier is
better". Semakin dini dan cepat dalam menginvestasikan beragam
pengetahuan ke dalam diri anak mereka, maka itu akan semakin baik.
Neil Posmant seorang sosiolog Amerika pada tahun 80-an meramalkan
bahwa jika anak-anak tercabut dari masa kanak-kanaknya, maka
lihatlah... ketika anak anak itu menjadi dewasa, maka ia akan menjadi
orang dewasa yang ke kanak-kanakan!

BERBAGAI GAYA ORANGTUA

Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan
berbagai gaya orangtua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan
"mis-education" terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya. Elkind
(1989) mengelompokkan berbagai gaya orangtua dalam pengasuhan, antara
lain:

Gourmet Parents-- (ORTU B0RJU)

Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah
bagus, mobil mewah, liburan ke tempat-tempat yang eksotis di dunia,
dengan gaya hidup kebarat baratan. Apabila menjadi orangtua maka
mereka akan cenderung merawat anak-anaknya seperti halnya merawat
karier dan harta mereka. Penuh dengan ambisi! Berbagai macam buku akan
dibaca karena ingin tahu isu-isu mutakhir tentang cara mengasuh anak.
Mereka sangat percaya bahwa tugas pengasuhan yang baik seperti halnya
membangun karier, maka "superkids" merupakan bukti dari kehebatan
mereka sebagai orangtua. Orangtua kelompok ini memakaikan anak-anaknya
baju-baju mahal bermerek terkenal, memasukkannya ke dalam
program-program eksklusif yang prestisius. Keluar masuk restoran
mahal. Usia 3 tahun anak-anak mereka sudah diajak tamasya keliling
dunia mendampingi orangtuanya. Jika suatu saat kita melihat sebuah
sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh berbagai merek mobil
terkenal, maka itulah sekolah banyak kelompok orangtua "gourmet " atau
kelompok borju menyekolahkan anak-anaknya.

College Degree Parents --- (ORTU INTELEK )
Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah
ke atas. Mereka sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering
melibatkan diri dalam barbagai kegiatan di sekolah anaknya. Misalnya
membantu membuat majalah dinding dan kegiatan ekstra kurikular
lainnya. Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari
kesuksesan hidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak
mereka "Superkids ", apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik
yang tinggi. Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke sekolah
mahal yang prestisius sebagai bukti bahwa mereka mampu dan percaya
bahwa pendidikan yang baik tentu juga harus dibayar dengan pantas.
Kelebihan kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap
kurikulum yang dilaksanakan di sekolah anak anaknya. Dan dalam banyak
hal mereka banyak membantu dan peduli dengan kondisi sekolah.

Gold Medal Parents --(ORTU SELEBRITIS )
Kelompok ini adalah kelompok orangtua yang menginginkan anak-anaknya
menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering
mengikutkan anaknya ke berbagai kompetisi dan gelanggang. Ada
gelanggang ilmu pengetahuan seperti Olimpiade matematika dan sains
yang akhir-akhir ini lagi marak di Indonesia . Ada juga gelanggang
seni seperti ikut menyanyi, kontes menari, terkadang kontes
kecantikan. Berbagai cara akan mereka tempuh agar anak-anaknya dapat
meraih kemenangan dan merijadi "seorang Bintang Sejati ". Sejak dini
mereka persiapkan anak-anak mereka menjadi "Sang Juara", mulai dari
juara renang, menyanyi dan melukis hingga none abang cilik kelika
anak-anak mereka masih berusia TK.

Sebagai ilustrasi dalam sebuah arena lomba ratu cilik di Padang
puluhan anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah menunggu
di mulainya lomba pakaian adat. Ruangan yang sesak, penuh asap rokok,
dan acara yang molor menunggu datangnya tokoh anak dari Jakarta.
Anak-anak mulai resah, berkeringat, mata memerah karena keringat
melelehi mascara anak kecil mereka. Para orangtua masih bersemangat,
membujuk anak-anaknya bersabar.

Mengharapkan acara segera di mulai dan anaknya akan kelular sebagai
pemenang. Sementara pihak penyelenggara mengusir panas dengan berkipas
kertas.Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri anak akibat perilaku
ambisi kelompok gold medal parents ini. Sebagai contoh pada tahun
70-an seorang gadis kecil pesenam usia TK rnengalami kelainan tulang
akibat ambisi ayahnya yang guru olahraga. Atau kasus "bintang cilik"
Yoan Tanamal yang mengalami tekanan hidup dari dunia glamour masa
kanak-kanaknya. Kemudian menjadikannya pengguna dan pengedar narkoba
hingga menjadi penghuni penjara. Atau bintang cilik dunia Heintje yang
setelah dewasa hanya menjadi pasien dokter jiwa. Gold medal parent
menimbulkan banyak bencana pada anak-anak mereka!

Pada tanggal 29 Mei lalu kita saksikan di TV bagaimana bintang cilik
"Joshua" yang bintangnya mulai meredup dan mengkhawatirkan
orangtuanya. Orangtua Joshua berambisi untuk kembali menjadikan
anaknya seorang bintang dengan kembali menggelar konser tunggal.
Sebagian dari kita tentu masih ingat bagaimana lucu dan pintarnya
Joshua ketika berumur kurang 3 tahun. Dia muncul di TV sebagai anak
ajaib karena dapat menghapal puluhan nama-nama kepala negara. kemudian
di usia balitanya dia menjadi penyanyi cilik terkenal. Kita kagum
bagaimana seorang bapak yang tamatan SMU dan bekerja di salon dapat
membentuk dan menjadikan anaknya seorang "superkid" --seorang penyanyi
sekaligus seorang bintang film.....

Do-it Yourself Parents
Merupakan kelompok orangtua yang mengasuh anak-anaknya secara alami
dan menyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayanan
professional di bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di
sekolah, di tempat ibadah, di Posyandu dan di perpustakaan. Kelompok
ini menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri yang tidak begitu
mahal dan sesuai dengan keuangan mereka. Walaupun begitu kelompok ini
juga bemimpi untuk menjadikan anak-anaknya "Superkids" --earlier is
better". Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai
lingkungannya. Mereka juga mengajarkan merawat dan memelihara hewan
atau tumbuhan yang mereka sukai. Kelompok ini merupakan kelompok
penyayang binatang, dan mencintai lingkungan hidup yang bersih.

Outward Bound Parents--- (ORTU PARANOID)
Untuk orangtua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan yang
dapat memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan
mereka sederhana, agar anak-anak dapat bertahan di dunia yang penuh
dengan permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan
marabahaya. Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka lebih
memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat tempat tawuran
yang berbahaya. Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini
secara tak disengaja juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep
"Superkids". Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang
hebat agar dapat melindungi diri mereka dari berbagai macam
marabahaya. Terkadang mereka melatih kecakapan melindungi diri dari
bahaya, seperti memasukkan anak-anaknya "Karate, Yudo, pencak Silat"
sejak dini. Ketidakpatutan pemikiran kelompok ini dalam mendidik
anak-anaknya adalah bahwa mereka terlalu berlebihan melihat marabahaya
di luar rumah tangga mereka, mudah panik dan ketakutan melihat situasi
yang selalu mereka pikir akan membawa dampak buruk kepada anak.
Akibatnya anak-anak mereka menjadi "steril"
dengan lingkungannya.

Prodigy Parents --(ORTU INSTANT)
Merupakan kelompok orangtua yang sukses dalam karier namun tidak
memiliki pendidikan yang cukup. Mereka cukup berada, narnun tidak
berpendidikan yang baik. Mereka memandang kesuksesan mereka di dunia
bisnis merupakan bakat semata. Oleh karena itu mereka juga memandang
sekolah dengan sebelah mata, hanya sebagai kekuatan yang akan
menumpulkan kemampuan anak-anaknya.

Tidak kalah mengejutkannya, mereka juga memandang anak-anaknya akan
hebat dan sukses seperti mereka tanpa memikirkan pendidikan seperti
apa yang cocok diberikan kepada anak-anaknya. Oleh karena itu mereka
sangat mudah terpengaruh kiat-kiat atau cara unik dalam mendidik anak
tanpa bersekolah. Buku-buku instant dalam mendidik anak sangat mereka
sukai. Misalnya buku tentang "Kiat-Kiat Mengajarkan bayi Membaca"
karangan Glenn Doman , atau "Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi Matematika"
karangan Siegfried, "Berikan Anakmu pemikiran Cemerlang" karangan
Therese Engelmann, dan "Kiat-Kiat Mengajarkan Anak Dapat Membaca Dalam
Waktu 9 Hari" karangan Sidney Ledson.

Encounter Group Parents--( ORTU NGERUMPI )
Merupakan kelompok orangtua yang memiliki dan menyenangi pergaulan.
Mereka terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada atau
terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang lantung). Terkadang
mereka juga merupakan kelompok orangtua yang kurang bahagia dalam
perkawinannya.

Mereka menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai relationship dalam
membina hubungan dengan orang lain. Sebagai akibatnya kelompok ini
sering melakukan ketidakpatutan dalam mendidik anak-­anak dengan
berbagai perilaku "gang ngrumpi" yang terkadang mengabaikan anak.
Kelompok ini banyak membuang-buang waktu dalam kelompoknya sehingga
mengabaikan fungsi mereka sebagai orangtua. Atau pun jika mereka
memiliki aktivitas di kelompokya lebih berorientasi kepada kepentingan
kelompok mereka. Kelompok ini sangat mudah terpengaruh dan latah untuk
memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya. Menjadikan anak-anak mereka
sebagai "Superkids" juga sangat diharapkan. Namun banyak dari anak
anak mereka biasanya kurang menampilkan minat dan prestasi yang
diharapkan.

Milk and Cookies Parents-(ORTU IDEAL)
Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa
kanak-kanak yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang
sehat dan manis. Mereka cenderung menjadi orangtua yang hangat dan
menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan
mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan.

Kelompok ini tidak berpeluang menjadi oraugtua yang melakukan
"miseducation" dalam merawat dan mengasuh anak-anaknya. Mereka
memberikan lingkungan yang nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh
perhatian, dan tumpahan cinta kasih yang tulus sebagai orang tua.

Mereka memenuhi rumah tangga mereka dengan buku-buku, lukisan dan
musik yang disukai oleh anak-anaknya. Mereka berdiskusi di ruang
makan, bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi
anak-anak mereka untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak
mereka pun meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah
yang menyebabkan. Kehangatan hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan
rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri dan antusias dalam
kehidupan belajar.

Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang menjalankan tugasnya
dengan patut kepada anak-anak mereka. Mereka begitu yakin bahwa anak
membutuhkan suatu proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri
keistimewaan yang dimilikinya. Dengan kata lain mereka percaya bahwa
anak sendirilah yang akan menemukan sendiri kekuatan di dirinya. Bagi
mereka setiap anak adalah benar-benar seorang anak yang hebat dengan
kekuatan potensi yang juga berbeda dan unik!

Kamu harus tahu bahwa tiada satu pun yang lebih tinggi, atau lebih
kuat, atau lebih baik, atau pun lebih berharga dalam kehidupan nanti
daripada kenangan indah; terutama kenangan manis di masa kanak-kanak.
Kamu mendengar banyak hal tentang pendidikan, namun beberapa hal yang
indah, kenangan berharga yang tersimpan sejak kecil adalah mungkin itu
pendidikan yang terbaik. Apabila seseorang menyimpan banyak kenangan
indah di masa kecilnya, maka kelak seluruh kehidupannya akan
terselamatkan. Bahkan apabila hanya ada satu saja kenangan indah yang
tersiampan dalam hati kita, maka itulah kenangan yang akan memberikan
satu hari untuk keselamatan kita" (destoyevsky' s brothers karamoz)

PERSPEKTIF SEKOLAH YANG MENGKARBIT ANAK
Kecenderungan sekolah untuk melakukan pengkarbitan kepada anak
didiknya juga terlihat jelas. Hal ini terjadi ketika sekolah
berorientasi kepada produk daripada proses pembelajaran. Sekolah
terlihat sebagai sebuah "Industri" dengan tawaran-tawaran menarik yang
mengabaikan kebutuhan anak. Ada program akselerasi, ada program kelas
unggulan. Pekerjaan rumah yang menumpuk. Tugas-tugas dalam bentuk
hanya lembaran kerja. Kemudian guru-guru yang sibuk sebagai "Operator
kurikulum" dan tidak punya waktu mempersiapkan materi ajar karena
rangkap tugas sebagai administrator sekolah. Sebagai guru kelas yang
mengawasi dan mengajar terkadang lebih dari 40 anak, guru hanya dapat
menjadi "pengabar isi buku pelajaran" ketimbang menjalankan fungsi
edukatif dalam menfasilitasi pembelajaran. Di saat-saat tertentu
sekolah akan menggunakan "mesin-mesin dalam menskor" capaian prestasi
yang diperoleh anak setelah diberikan ujian berupa potongan-potongan
mata pelajaran. Anak didik menjadi dimiskinkan dalam menjalani
pendidikan di sekolah. Pikiran mereka diforsir untuk menghapalkan atau
melakukan tugas-tugas yang tidak mereka butuhkan sebagai anak.

Manfaat apa yang mereka peroleh jika guru menyita anak membuat bagan
organisasi sebuah birokrasi? Manfaat apa yang dirasakan anak jika
mereka diminta membuat PR yang menuliskan susunan kabinet yang ada di
pemerintahan? Manfaat apa yang dimiliki anak jika ia disuruh menghapal
kalimat-kalimat yang ada di dalam buku pelajaran? Tumpulnya rasa dalam
mencerna apa yang dipikirkan oleh otak dengan apa yang direfleksikan
dalam sanubari dan perilaku-perilaku keseharian mereka sebagai anak
menjadi semakin senjang. Anak-anak tahu banyak tentang pengetahuan
yang dilatihkan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam
kurikulum persekolahan, namun mereka bingung mengimplementasikan dalam
kehidupan nyata. Sepanjang hari mereka bersekolah di sekolah untuk
sekolah? dengan tugas-tugas dan PR yang menumpuk....

Namun sekolah tidak mengerti bahwa anak sebenarnya butuh bersekolah
untuk menyongsong kehidupannya! Lihatlah, mereka semua belajar dengan
cara yang sama. Membangun 90 % kognitif dengan 10 % afektif. Paulo
Freire mengatakan bahwa sekolah telah melakukan "pedagogy of the
oppressed" terhadap anak-anak didiknya. Di mana guru mengajar, anak
diajar, guru mengerti semuanya dan anak tidak tahu apa-apa, guru
berpikir dan anak dipikirkan, guru berbicara dan anak mendengarkan,
guru mendisiplin dan anak didisiplin, guru memilih dan mendesakkan
pilihannya dan anak hanya mengikuti, guru bertindak dan anak hanya
membayangkan bertindak lewat cerita guru, guru memilih isi program dan
anak menjalaninya begitu saja, guru adalah subjek dan anak adalah
objek dari proses pembelajaran (Freire,1993) . Model pembelajaran
banking system ini dikritik habis-habisan sebagai masalah kemanusiaan
terbesar. Belum lagi persaingan antar sekolah. dan persaingan ranking
wilayah....

Mengkompetensi Anak--- merupakan " KETIDAKPATUTAN PENDIDIKAN"
Anak adalah anugrah Tuhan... sebagai hadiah kepada semesta alam,
tetapi citra anak dibentuk oleh sentuhan tangan-tangan manusia dewasa
yang bertanggungjawab. "(Nature versus Nurture) bagaimana ?" Karena
ada dua pengertian kompetensi. kompetensi yang datang dari kebutuhan
di luar diri anak (direkayasa oleh orang dewasa) atau kompetensi yang
sesuai dengan kebutuhan dari dalam diri anak sendiri.

Sebagai contoh adalah konsep kompetensi yang dikemukakan oleh John
Watson (psikolog) pada tahun 1920 yang mengatakan bahwa bayi dapat
ditempa menjadi apapun sesuai kehendak kita; sebagai komponen sentral
dari konsep kompetensi. Jika bayi-bayi mampu jadi pembelajar, maka
mereka juga dapat dibentuk melalui pembelajaran dini.

Kata-kata Watson yang sangat terkenal adalah sebagai berikut : "Give
me a dozen healthy infants, well formed and my own special world to
bring them up in, and I'll guarantee you to take any one at random and
train him to become any type of specialist I might select -- doctor,
lawyer, artist, merchant chief and yes, even beggar and thief
regardless of this talents, penchants, tendencies, vocations, and race
of his ancestors "

Pemikiran Watson membuat banyak orang tua melahirkan "intervensi dini"
setelah mereka melakukan serangkaian tes Inteligensi kepada
anak-anaknya. Ada sebuah kasus kontroversi yang terjadi di Institut
New Jersey pada tahun 1979. Dimana guru-guru melakukan serangkaian
program tes untuk mengukur "Kecakapan Dasar Minimum (Minimum Basic
Skill)" dalam mata pelajaran membaca dan matematika. Hasil dari
pelaksanaan program ini dilaporkan kolomnis pendidikan Fred Hechinger
kepada New York Times sebagai berikut : "The improvement in those
areas were not the result of any magic program or any singular
teaching strategy, they were.... simply proof that accountability is
crucial and that, in the past five years, it has paid off in New Yersey"

Juga belajar dari biografi tiga orang tokoh legendaris dunia seperti
Eleanor Roosevelt, Albert Einstein dan Thomas Edison, yang
diilustrasikan sebagai anak-anak yang bodoh dan mengalami
keterlambatan dalam akademik ketika mereka bersekolah di SD kelas
rendah. Semestinya kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dini
sangat berbahaya jika dibuatkan kompetensi-kompeten si perolehan
pengetahuan hanya secara kognitif.

Oleh karena hingga hari ini sekolah belum mampu menjawab dan dapat
menampilkan kompetensi emosi sosial anak dalam proses pembelajaran.
Pendidikan anak seutuhnya yang terkait dengan berbagai aspek seperti
emosi, sosial, kognitif pisik, dan moral belum dapat dikemas dalam
pembelajaran di sekolah secara terintegrasi. Sementara pendidikan
sejati adalah pendidikan yang mampu melibatkan berbagai aspek yang
dimiliki anak sebagai kompetensi yang beragam dan unik untuk
dibelajarkan. Bukan anak dibelajarkan untuk di tes dan di skor saja!.
Pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang
berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus
menerus merawat minat dan keingintahuan untuk belajar. Anak mengenali
tumbuh kembang yang terjadi secara berkelangsungan dalam kehidupannya.
Perilaku keingintahuan -"curiosity" inilah yang banyak tercabut dalam
sistem persekolahan kita. Akademik Bukanlah Keutuhan Dari Sebuah
Pendidikan!. "Empty Sacks will never stand upright" --- George Eliot

Pendidikan anak seutuhnya tentu saja bukan hanya mengasah kognitif
melalui kecakapan akademik semata! Sebuah pendidikan yang utuh akan
membangun secara bersamaan, pikiran, hati, pisik, dan jiwa yang
dimiliki anak didiknya. Membelajarkan secara serempak pikiran, hati..
dan pisik anak akan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup
mereka. Di sinilah dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik
akademik dan pendidik sanubari "karakter". Di mana mereka mendidik
anak menjadi "good and smart " terang hati dan pikiran.

Sebuah pendidikan yang baik akan melahirkan "how learn to learn" pada
anak didik mereka. Guru-guru yang bersemangat memberi keyakinan kepada
anak didiknya bahwa mereka akan memperoleh kecakapan berpikir tinggi,
dengan berpikir kritis, dan cakap memecahkan masalah hidup yang mereka
hadapi sebagai bagian dari proses mental. Pengetahuan yang terbina
dengan baik yang melibatkan aspek kognitif dan emosi, akan melahirkan
berbagai kreativitas.

Leonardo da Vinci seorang pelukis besar telah menghabiskan waktunya
berjam-jam untuk belajar anatomi tubuh manusia. Thomas Edison
mengatakan bahwa "genius is 1 percent inspiration and 99 percent
perspiration ".

Semangat belajar "encourage" tidak dapat muncul tiba-tiba di diri
anak. Perlu proses yang melibatkan hati, kesukaan dan kecintaan
belajar. Sementara di sekolah banyak anak patah hati karena gurunya
yang tidak mencintai mereka sebagai anak. Selanjutnya misi sekolah
lainnya yang paling fundamental adalah mengalirkan "moral litermy"
melalui pendidikan karakter. Kita harus ingat bahwa kecerdasan saja
tidak cukup. Kecerdasan plus karakter inilah tujuan sejati sebuah
pendidikan (Martin Luther King, Jr ). lnilah keharmonisan dari
pendidikan, bagaimana menyeimbangkan fungsi otak kiri dan kanan,
antara kecerdasan hati dan pikiran, antara pengetahuan yang berguna
dengan perbuatan yang baik ....

PENUTUP
Mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang
terang hati dan terang pikiran "good and smart" merupakan tugas kita
bersama. Melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras
yang mesti dilakukan secara serempak, antara sekolah dan masyarakat,
khususnya antara guru dan orangtua. Pendidikan yang ada sekarang ini
banyak yang tidak berorientasi kepada kebutuhan anak sehingga tidak
dapat memekarkan segala potensi yang dimiliki anak. Atau pun jika ada
yang terjadi adalah ketidakseimbangan yang cenderung memekarkan aspek
kognitif dan mengabaikan faktor emosi.

Begitu juga orangtua. Mereka berkecenderungan melakukan training dini
kepada anak. Mereka ingin anak-anak mereka menjadi "SUPERKIDS". Inilah
fenomena yang sedang trend akhir-akhir ini. Inilah juga awal dari
lahirnya era anak-anak karbitan! Lihatlah nanti ketika anak-anak
karbitan itu menjadi dewasa, maka mereka akan menjadi orang dewasa
yang ke kanak-kanakan.

Rabu, 26 November 2008

Keajaiban otak karunia Allah

Penelitian di Cambridge University membuktikan betapa
dahsyatnya sebuah benda di dalam kepala manusia, yang
bernama OTAK. Mau bukti? Silahkan lanjutkan membaca
artikel ini. Tapi jangan lupa, sehebat-hebatnya otak
manusia, masih jauh lebih hebat Sang Penciptanya, 'tul kan?
Ini sagnat menraik
------------ --------- --
Menuurt sbeauh penilitean di Cmabrigde Uinervtisy, tdaik
mejnadi maslaah bgaimanaa urtaun hufur-hufur di dlaam
sebauh kaat, ynag palngi pnteing adlaah leatk hruuf
partema dan terkhair itu bnaer.
Siasnya dpaat brantaaken saam skelai dan kmau maish
dpaat mebmacanya tnpaa msaalah. Hal ini kreana oatk
masunia tdaik mambeca seitap huurf msaing-msaing, tatepi
kaat kesuleruhan.
Manejkubakn naggk?

by : Yansen

Selasa, 25 November 2008

Mendidik Anak

Kalau dilihat dari esensinya, mendidik adalah mengajak (memotivasi, mendukung, membantu, menginspirasi, dst) orang lain untuk melakukan tindakan positif yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain (lingkungan). Dimana letak samanya? Tuhan memberikan tanggung jawab tugas ini kepada semua manusia, siapapun dia, dan apapun status sosialnya. Bahwa kemudian ada profesi yang kita kenal, misalnya saja: dai, pendeta, kyai, public speaker, penceramah, penulis motivasi, konselor, dan lain-lain, ya itu profesi. Lain profesi lain esensi.

Men-dakwah-kan hal-hal positif itu menjadi tugas semua orang karena, salah satu alasannya, di dalam praktek hidup itu ada kenyataan yang pas untuk disebut dengan istilah "konsekuensi dosa kolektif". Kalau dalam suatu daerah ada illegal logging besar-besaran dan membabi buta, lalu sebagian besar penduduk di situ berdiam atau malah mendukung praktek illegal itu, maka bencana banjir yang merupakan akibat logis dari praktek itu tidak dikenakan kepada hanya para penebang. Banjir itu akan melanda siapa saja. Ini contoh yang bisa dianalogikan secara umum.


Begitu juga dengan mengajar atau mendidik. Bahwa ada orang yang berprofesi sebagai guru, dosen, instruktur, dan seterusnya, ya itu profesi. Esensi pekerjaan mengajar sendiri ditugaskan kepada semua orang dan tidak pandang apa profesinya. Bukti riilnya adalah mengajarkan anak tentang hal-hal yang menurut kita itu baik, benar, dan bermanfaat kalau dijalankan.


Sah-sah saja kita punya alasan, misalnya saja, saya bukan berprofesi pendidik, bukan keturunan guru, saya tidak bakat mengajar, saya tidak sabaran mengajari anak kecil, dan lain-lain. Tetapi yang menjadi soal bukan itu. Persoalannya adalah, ketika kita tidak mengajarkan sesuatu maka anak-anak kita tidak mendapatkan pengajaran dari kita. Padahal keberadaan kita bagi mereka sangatlah penting. Ini tentu sudah mafhun bagi kita.

Saking pentingnya peranan kita itu bisa dilihat di berbagai temuan di bidang pendidikan. Ini misalnya dikatakan bahwa keluarga itu adalah sekolah yang pertama kali dilihat oleh anak. Banyak ahli mengatakan bahwa masa emas bagi perkembangan anak-anak itu pada masa lima tahun pertama. Ada yang mengatakan empat tahun. Ada yang mengatakan tiga sampai tujuh tahun. Ada yang mengatakan lagi sampai anak-anak itu menemukan dirinya sendiri dengan perkiraan usia minimalnya dua puluh tahun.


Mana yang paling benar sebetulnya? Mungkin masalahnya bukan pada usia berapa orangtua itu berperan emas bagi anak-anaknya. Kenapa? Prakteknya, peranan orangtua bagi anak-anak itu tidak terbatasi oleh usia. Menurut teori lain, otak manusia itu bisa diajari, bisa belajar, atau bisa menerima pelajaran sepanjang hidup. Ini berarti bahwa orangtua itu tetap punya peluang emas untuk mengajarkan sesuatu sepanjang peluang itu digunakan.


Nah, terlepas dari obrolan di atas, sebetulnya ada satu hal yang ingin kita angkat di sini. Ini terkait dengan bagaimana memilih metode pendidikan yang pas untuk kita yang memang bukan berprofesi sebagai pendidik. Seorang ibu bahkan sempat mengutarakan kebingungannya. "Katanya, kita ini tidak boleh keras sama anak. Tapi katanya lagi, kita tidak boleh memanjakan anak. Jadi mana dong metode mendidik anak yang perlu diikuti?"


Memang, dalam pendidikan dikenal sebuah sabda yang bunyinya begini: "Metode yang kita gunakan untuk mendidik itu lebih menentukan keberhasilan pendidikan ketimbang materi yang kita berikan." Dengan sabda ini, banyak orang, terutama yang bukan pendidik, tidak pede dengan cara-cara atau metode yang diciptakannya sendiri dalam mendidik anak-anaknya. "Apakah metode ini salah atau betul?", "Apakah saya terlalu keras atau terlalu memanjakan si anak?", dan seterusnya dan seterusnya.


Kalau kita kembalikan ke esesi di atas, sebetulnya Tuhan sudah fair di sini. Fair nya adalah, semua orang sudah dibekali kapasitas tertentu untuk mengajarkan sesuatu kepada orang lain, misalnya saja, kepada anaknya atau adiknya atau lingkungannya. Bahwa ada yang bergaya tegas, galak, sedikit cerewet, bahasanya halus, sabaran, dsb. Itu semua adalah gaya, sesuatu yang pada prinsipnya bisa diubah sesuai usaha kita. Bukan hanya itu saja. Selain kita sudah diberi kapasitas dasar untuk mengajarkan sesuatu, kita pun sudah diberi resources atau bekal untuk mengajar. Karena itu, apapun profesi kita, seperti apapun sifat-sifat dan kepribadian kita, ini semua tidak menjadi halangan untuk bisa menjadi pengajar atau pendidik di rumah.


Apa saja prinsip-prinsip dasar yang perlu kita jalankan (bukan sekedar untuk diketahui) dalam mengajar atau mendidik (meski profesi kita bukan pendidik atau pengajar)? Secara umum, prinsip-prinsip dasar itu bisa diuraikan sebagai berikut:

Pertama, menjauhi hal-hal yang ekstrim. Teori apapun di dunia ini pasti melarang yang satu ini. Contoh teori mendidik anak yang ekstrim itu misalnya kita dulu pernah mengalami perlakuan yang menurut kita keras dari orangtua. Sudah sedemikian keras orangtua itu mendidik kita, fasilitas hidup pun kurang, pas-pasan atau sangat dibatasi.


Sebagai reaksinya, kita menggunakan metode yang menjadi padanannya secara ekstrim. Misalnya saja kita terlalu memanjakan dan memberikan fasilitas yang berlebihan sebagai reaksi atau balasan atas masa lalu. Anak merasa punya kebebasan yang membuat dirinya tidak tahu apa yang boleh dan apa yang tidak, tidak tahu apa yang dilarang dan apa yang diperintahkan, dan seterusnya. Atau misalnya saja anak merasa semua hidupnya diselesaikan dengan pembantu atau asisten orangtua.


Nah, kalau menelaah temuan-temuan ilmu pengetahuan, anak yang menerima perlakuan terlalu ekstrim enaknya atau terlalu ekstrim tidak enaknya, itu sama-sama kurang bagus. Teori stress mengatakan, orang yang terlalu sedikit stress itu sama jeleknya dengan orang yang terlalu banyak stress. Teori kreativitas juga mengatakan yang sama. Untuk perkembangan kreativitas, terlalu tertekan itu sama-sama jeleknya dengan terlalu nyantai. Terlalu banyak tersedia fasilitas itu juga mungkin sama jeleknya dengan terlalu krisis.


Konon, dengan semakin banyaknya tumbuh generasi keluarga kedua yang lebih makmur dari orangtuanya dulu, kini yang kerap dianggap menjadi persoalan adalah bagaimana me-militansi-kan mentalitas anak-anak. Militansi anak-anak terancam oleh berlimpahnya fasilitas dan kemanjaan yang tidak disentuh oleh nilai-nilai pendidikan. Seorang bapak yang dulu anaknya pernah saya ajar mengatakan anak-anak sekarang ini cenderung tidak mau susah, gampang menyerah, maunya fasilitas duluan.


Untuk bisa menghindari hal-hal yang ekstrim ini tentu tidak bisa kita capai dengan sekali-jadi. Ini adalah proses yang dinamis. Karena itu, idealnya adalah kita perlu me-record berbagai proses pendidikan yang pernah kita terima, entah dari orangtua, lingkungan, atau sekolah. Ini agar kita punya data atau landasan untuk bisa menemukan yang "proper" buat anak-anak yang hendak kita didik.


Kedua, mendidik atau mengajar itu adalah "the game" (permainan yang bukan sekedar main-main). Dikatakan permainan berarti kita dituntut untuk mengeluarkan jurus-jurus yang sesuai dengan kondisi dan situasi di lapangan atau fakta-fakta yang ada. Atau kalau dipendekkan, harus sesuai dengan tindakan si anak pada real time. Kalau kita membiarakan anak-anak hanya karena takut dikutuk teori pendidikan atau puisi pendidikan, padahal situasinya saat itu membutuhkan ketegasan sikap dari kita, ini juga tidak tepat.


Dengan kata lain, silahkan kita marah, lembut, diam, atau bersikap tegas, sejauh itu memang dibutuhkan oleh fakta-fakta di lapangan. Namanya juga bermain dan permainan. Yang terpenting dalam the game itu, menurut nasehat Sun Zhu, adalah menjaga emosi dan memperhatikan perilaku orang lain. Dalam konteksnya dengan pendidikan adalah, jurus apapun yang kita keluarkan, hendaknya itu perlu kita niati untuk mendidik (to educate). Artinya: menjaga emosi dan memperhatikan perilaku. Artinya lagi, teori apapun dalam pendidikan itu perlu kita tafsirkan dan jalankan dengan akal sehat dan jangan sampai "termakan" oleh teori.


Kekurangan yang kerapkali kita jalankan tanpa sadar adalah, kita men-judge anak bukan dari tindakannya atau kasusnya atau faktanya, melainkan menciptakan sebuah konsepsi-diri dalam bentuk sifat-sifat yang umum. Ini misalnya kita mengatakan si anak itu pemalas padahal yang kita maksudkan adalah anak menolak disuruh mengambil gelas di meja makan. Bahkan tak jarang anak menerima sebutan misalnya: anak yang bodoh, anak yang nakal, anak yang bla bla bla, dan seterusnya.


Kekurangan lainnya adalah kita menjadikan jurus-jurus itu tanpa tujuan. Artinya, ketika marah, yang membuat kita marah adalah hanya kejengkelan. Ketika kita baik, yang membuat kita baik adalah karena tidak tahan ditekan sama anak. Idealnya, baik kita sedang galak atau sedang lembut, semua itu kita niati untuk mendidik atau mengarahkan mereka pada yang baik berdasarkan keadaannya. Tradisi orangtua kita berpesan, mendidik itu terkadang harus di depan, di tengah atau di belakang. Ini tergantung situasi dan medan.


Ketiga, mempertimbangkan suasana batin dan lahir. Kalau mau jujur, metode pendidikan yang paling banyak kita gemari adalah metode ceramah, meskipun menurut rumus pendidikannya, anak-anak itu lebih banyak menyerap dari apa yang kita lakukan (imitasi).


Nah, metode ceramah pun sebetulnya oke-oke saja sejauh kita melihat ada pengaruh positif. Yang sangat penting untuk kita jalankan bersama adalah, hendaknya jangan sampai kita berceramah pada saat kita marah atau si anak dalam kondisi batin yang tidak mendukung. Kalau pun itu sudah terlanjur kita lakukan, akan lebih baik kita menciptakan atau menemukan suasana baru yang mendukung untuk menjelaskan ulang materi ceramah kita di kesempatan yang berbeda. Lebih-lebih jika itu kita lakukan secara dialogis dan berduaan.


Nasehat itu diibaratkan seperti salju. Semakin lembut salju itu, semakin kuat daya serapnya ke bawah. Tao berpesan, dimanapun di dunia ini, yang lembut pasti mengalahkan yang kasar. Sayangnya, semua orang berpikir untuk menggunakan kekasaran dan mengabaikan kelembutan. Kita lebih cenderung berkesimpulan secara cepat bahwa kekasaranlah yang akan menang padahal nyatanya seringkali itu tipuan. Justru kelembutan yang akhirnya menjadi the winner.


Keempat, kesabaran. Semua orang sudah tahu bahwa kesabaranlah yang akhirnya memenangkan proses pendidikan. Dalam beberapa kasus terkait dengan kenakalan anak yang sudah pada tahap luar biasa, misalnya mengkonsumsi narkoba, kebodohan akademik yang dibarengi dengan kenakalan, dan lain-lain, maka yang kita saksikan adalah kesabaran di sana menjadi pemenangnya.


Kesabaran di sini maksudnya bukan membiarkan penyimpangan atau memendam protes dan kejengkelan yang tidak sanggup kita nyatakan, melainkan kontinyuitas kesadaran dan tindakan. Jadi kalau kita tetap sadar untuk menempati posisi sebagai pendidik atau pengajar dan terus melakukan hal-hal yang dibutuhkan dalam proses pendidikan itu, berdasarkan fakta yang kita lihat, berarti kita telah menjalankan prinsip kesabaran. Contoh yang paling riil itu misalnya adalah kesabaran yang dilakukan ibundanya Edison. Anaknya dinyatakan tidak pantas mengikuti pendidikan sekolah formal tapi ibunya tetap tidak percaya itu dan sabar dalam mendidik anaknya.


Karena kesabaran itu letaknya pada kontinyuitas kesadaran dan tindakan, makanya kerap kita dengar bahwa kesabaran ada tiga, yaitu: a) kesabaran dalam melakukan hal-hal yang berdampak baik, b) kesabaran dalam melawan / meluruskan penyimpangan, c) kesabaran dalam menghindari hal-hal yang berdampak buruk. Bahkan kalau melihat literatur tentang perjuangan manusia, kesabaran ini diakui sebagai prinsip usaha yang tidak ada penggantinya. Kesabaran yang benar adalah kesabaran yang menjadi kekuatan kita.


Kelima, keteladanan. Ini juga prinsip dalam pendidikan dan pengajaran. Mau kita paham teori pendidikan atau tidak, keteladanan adalah prinsip yang harus ada dalam proses pendidikan. Karena itu, dikatakan bahwa keteladanan itu bukan salah satu teori pendidikan, melainkan satu-satunya. Artinya, metode apapun yang kita gunakan, tetap harus ada keteladanan ini.


Dengan menggunakan kalkulasi yang tidak ideal, kita kerap menyaksikan fakta-fakta dimana ada orang yang mungkin secara teori-tekstual tidak banyak tahu tentang perkembangan konsep-konsep pendidikan tetapi prakteknya berhasil mendidik orang, mau itu muridnya atau anaknya. Apa rahasia mereka? Dari yang kita lihat, rahasianya adalah ketaatan terhadap prinsip-prinsip utama yang jumlahnya sedikit, yang sudah kita ketahui, dan yang sudah dijalankan oleh mereka dengan sepenuh hati. Ini misalnya adalah kesabaran, ketegasan atau keteladanan.


Menurut Kahlil Ghibran, anak-anak itu memang bukan milik kita. Mau kita miliki atau tidak kita miliki, anak-anak akan tetap memiliki dirinya sendiri dan menjadi milik kekasihnya. Meskipun bukan milik kita, tetapi anak-anak itu menjadi tanggung jawab kita. Tanggung jawab inilah yang pas untuk menerjemahkan status anak sebagai amanat dan ujian. Semoga bermanfaat.

KOTA TER .......

Kadang sejarah suatu kota lebih tua dari pada sejarah negaranya. Di situlah uniknya suatu kota. Berawal dari pertemuan antara manusia dengan manusia lain, melakukan aktivitas, baik berdagang, berinteraksi, berkeluarga, hingga membentuk komunitas. Maka terbentuklah suatu kota. Fakta-fakta berikut adalah bentuk keunikan suatu hasil interaksi sosial manusia, dimana tidak hanya sejumlah manusia berkumpul dan beraktivitas, tapi juga memunculkan sejumlah identitas unik yang patut kita simak:

1.Kota dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia



Adalah kota Tokyo yang diperkirakan memiliki jumlah penduduk sebanyak lebih dari 33 juta jiwa. Sedangkan New York dan Sao Paulo menduduki urutan kedua dan ketiga dengan jumlah penduduk masing-masing mencapai 17 juta.

2.Kota dengan wilayah Terluas.



Kota dengan wilayah terluas jatuh pada kota Mount Isa yang terletak di barad laut Queensland, Australia. Luasnya mencapai hampir 41 ribu kilometer persegi dengan memiliki jalan raya kota sepanjang 189 km yang merupakan jalan raya kota terpanjang di dunia.

3.Kota terkecil di dunia,



Baik dalam hal ukuran kota maupun jumlah penduduk? Itulah kota Hum yang terletak di Kroasia dengan jumlah penduduk hanya 23 orang. Kota tua ini didirikan pada tahun 1102 yang sebelumnya bernama Cholm, yang masih memiliki arsitektur gedung pada jaman abad pertengahan.

4.Kota tertua dan kota termuda di dunia



Percaya atau tidak bahwa kota tertua dan kota termuda berada di area wilayah yang sama? Buktinya adalah kota tertua di dunia adalah kota Jericho (di Arab disebut Ariha) yang diperkirakan berusia lebih dari 10 ribu tahun.
Sedangkan kota termuda di dunia jatuh pada kota Tel Aviv, yang berusia sekitar 80 tahun. Dan dua kota itu berada dalam wilayah timur tengah yang terus menerus bergolak.


5.Kota Dengan Daratan Paling Tinggi Didunia.



kota yang berada di daratan tertinggi dipegang oleh kota Potosi di Bolivia, yang memiliki ketinggian sekitar 4100 meter (13.500 kaki) di atas permukaan laut! Kota ini juga ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia yang harus dilindungi.Selain sebagai kota tertua di dunia, Jericho juga dianggap sebagai kota dengan daratan paling rendah di dunia. Kota tersebut berada 260 meter (853 kaki) di bawah permukaan laut!

6.Kota Terjangkung di dunia



Hong Kong
adalah kota dengan julukan kota 'terjangkung' di dunia, karena memiliki sekitar lebih dari 7.500 gedung pencakar langit, lebih banyak dari gedung 'penggaruk langit' yang dimiliki kota New York.

7.Kota pertama yang jumlah penduduknya 1jt orang



Tahukah Anda, bahwa kota pertama yang jumlah penduduknya 1 juta orang adalah Roma, Italia, pada 133 SM? Jumlah penduduk di London, Inggris mencapai 1 juta pada 1810, dan New York City, New York. di AS mencapainya pada 1875. Kini ada lebih dari 300 kota di dunia dengan penduduk lebih dari 1 juta orang

Dan yang paling terakhir adalah yang paling unik…….

8.Kota Paling Sering Kena Banjir sedunia
…., ha3


kota
terunik lainnya yaitu kota Jakarta yang terletak di indonesia, asia tenggara, kota ini masuk kategori kota paling sering kebanjiran sedunia. he.. he… he…

Wanita oh Wanita

Semoga bermanfaat.

Sebuah artikel tentang :

Istimewanya seorang Wanita Semoga bermanfaat..
Kaum feminis bilang susah jadi wanita, lihat saja peraturan dibawah ini:

1. Wanita auratnya lebih susah dijaga (lebih banyak) dibanding lelaki.
2. Wanita perlu meminta izin dari suaminya apabila mau keluar rumah tetapi tidak sebaliknya.
3. Wanita saksinya (apabila menjadi saksi) kurang berbanding lelaki.
4. Wanita menerima warisan lebih sedikit daripada lelaki.
5. Wanita perlu menghadapi kesusahan mengandung dan melahirkan anak.
6. Wanita wajib taat kepada suaminya, sementara suami tak perlu taat pada isterinya.
7. Talak terletak di tangan suami dan bukan isteri.
8. Wanita kurang dalam beribadat karena adanya masalah haid dan nifas yang tak ada pada lelaki.

Itu sebabnya mereka tidak henti-hentinya berpromosi untuk"MEMERDEKAKAN WANITA ".
Pernahkah kita lihat sebaliknya (kenyataannya) ?
1. Benda yang mahal harganya akan dijaga dan dibelai serta disimpan ditempat yang teraman dan terbaik. Sudah pasti intan permata
tidak akan dibiar terserak bukan? Itulah bandingannya dengan seorang wanita.
2. Wanita perlu taat kepada suami, tetapi tahukah lelaki wajib taat kepada ibunya 3 kali lebih utama daripada kepada bapaknya?
3. Wanita menerima warisan lebih sedikit daripada lelaki, tetapi tahukah harta itu menjadi milik pribadinya dan tidak perlu diserahkan kepada suaminya, sementara apabila lelaki menerima warisan,ia perlu/wajib juga menggunakan hartanya untuk isteri dan anak-anak.
4. Wanita perlu bersusah payah mengandung dan melahirkan anak,tetapi tahukah bahwa setiap saat dia didoakan oleh segala makhluk, malaikat dan seluruh makhluk ALLAH di muka bumi ini, dan tahukah jika ia mati karena melahirkan adalah syahid dan surga menantinya.
5. Di akhirat kelak, seorang lelaki akan dipertanggungjawabk an terhadap 4 wanita, yaitu : Isterinya , ibunya, anak perempuannya dan saudara perempuannya. Artinya, bagi seorang wanita tanggung jawab terhadapnya ditanggung oleh 4 orang lelaki, yaitu : suaminya, ayahnya, anak lelakinya dan saudara lelakinya.
6. Seorang wanita boleh memasuki pintu syurga melalui pintu surga yang mana saja yang disukainya, cukup dengan 4 syarat saja, yaitu : sholat 5 waktu, puasa di bulan Ramadhan, taat kepada suaminya dan menjaga kehormatannya.
7. Seorang lelaki wajib berjihad fisabilillah, sementara bagi wanita jika taat akan suaminya, serta menunaikan tanggungjawabnya kepada ALLAH, maka ia akan turut menerima pahala setara seperti pahala orang pergi berjihad fisabilillah tanpa perlu mengangkat senjata.Masya ALLAH ! Demikian sayangnya ALLAH pada wanita... kan

Ingat
firman Nya, bahwa mereka tidak akan berhenti melakukan segala upaya, sampai kita ikut / tunduk kepada cara-cara / peraturan buatan mereka. (emansipasi ala western) Yakinlah, bahwa sebagai dzat yang Maha Pencipta, yang menciptakan kita, maka sudah pasti Ia yang Maha Tahu akan manusia, sehingga segala hukumnya / peraturannya, adalah YANG TERBAIK bagi manusia dibandingkan dengan segala peraturan/hukum buatan manusia.

Jagalah isterimu karena dia perhiasan, pakaian dan ladangmu, sebagaimana Rasulullah pernah mengajarkan agar kita (kaum
lelaki) berbuat baik selalu (gently) terhadap isterimu. Adalah sabda Rasulullah bahwa ke tika kita memiliki dua atau lebih anak perempuan, mampu menjaga dan mengantarkannya menjadi muslimah yang baik, maka surga adalah jaminannya. (untuk anak laki2 berlaku kaidah yang berbeda). Berbahagialah wahai para muslimah.
Jangan risau hanya untuk apresiasi absurd dan semu di dunia ini. Tunaikan dan tegakkan kewajiban agamamu, niscaya surga menantimu

All the best for women....

Sebuah kisah di kelas 8

Hari ini rabu, 26 November 2008. Hujan menyelimuti sekolah kami dan sekitarnya, udara begitu dingin dengan hembusan angin yang begitu kencangnya. Hari ini pada jam ke 5 dan 6, saya mengajar disuatu kelas yang terletak di sudut sekolah. Hari ini pelajaran IPS, yang dibagi menjadi dua sesi yaitu Geografi dan Sejarah. Namun, sungguh mengecewakan siswa-siswa yang ada dikelas 8 ini, berulang kali tidak mengerjakan tugas, padahal tugas tersebut sudah diberikan satu minggu yang lalu. Akhirnya saya minta keluar dari kelas, dan untuk sementara tidak dapat mengikuti pelajaran IPS, sebagai konsekuensi tidak mengerjakan tugas tersebut. Namun, betapa kagetnya saya, semua siswa laki-laki tidak mengerjakan tugas (kompak), saya sungguh kecewa dengan sikap mereka, akhirnya saya mengambil keputusan, agar mereka membuat surat pernyataan dan ditandatangani wali kelas, agar dapat mengikuti pelajaran saya. Saya tunggu selama pelajaran berlangsung, namun tidak ada siswa satupun merespon hal tersebut. Saya sungguh kecewa dengan sikap siswa laki-laki dikelas 8 tersebut, mereka tidak peduli. Akhirnya saya bertanya dalam hati, apakah mereka tidak peduli dengan masa depan mereka, apakah mereka tidak merasa rugi dengan sikap mereka seperti ini. Semoga saja mereka dapat berfikir lebih jernih lagi, mengenai hal ini. Saya meminta kepada orang tua untuk terus memperhatikan dan membimbing putra-putrinya dirumah, karena masa depan bangsa ini ada ditangan mereka. Apa jadinya bangsa ini apabila generasi penerus malas dalam belajar dan tidak peduli akan masa depannnya. Semoga menjadi perhatian kepada semua pihak yang peduli dengan dunia pendidikan.