Selasa, 09 Desember 2008

Nikmat Dunia hanya Sebentar

Adalah seorang pemuda yang tengah berjalan- jalan ditepi hutan untuk
Mencari udara segar, ketika dia tengah berjalan, tiba -tiba terdengarlah
Bunyi auman suara harimau… Auuuummmm….!!!!! Seekor harimau yang
Sedang lapar Dan mencari mangsa untuk mengisi perutnya Dan tiba-tiba
Sudah berada dihadapan pemuda . Pemuda tadi karena takut,
Diapun Berlari semampu dia bisa, Harimau yang sedang lapar tentunya tidak
Begitu saja melepas mangsa empuk di depan matanya, harimau itupun
Mengejar pemuda tadi. Ditengah kepanikkannya, pemuda tadi masih sempat
Berdoa, agar diselamatkan dari terkaman harimau,…rupanya doanya
Dikabulkan, dalam pelariannya dia melihat sebuah sumur tua,..terlintas
Dibenaknya untuk masuk kedalam sumur itu,..karena harimau pasti tidak
Akan mengejarnya ikut masuk kesumur tersebut.

Beruntungnya lagi ternyata sumur tersebut ditengahnya Ada tali menjulur
Ke bawah, jadi pemuda tadi tidak harus melompat yang mungkin saja bisa
Membuat kakinya patah karena dalamnya sumur tersebut. Tapi ternyata tali
Itu pendek Dan takkan sanggup membantu dia sampai kedasar sumur, hingga
Akhirnya dia bergelayut ditengah-tengah sumur, ketika tengah bergelayut
Dia menengadahkan mukanya keatas ternyata harimau tadi masih menunggunya
Dibibir sumur, Dan ketika dia menunduk kebawah, terdengar suara kecipak
Air,..setelah diamati ternyata
Ada 2 ekor buaya yang ganas yang berusaha
Menggapai badannya,.

Ya Allah bagaimana ini, diatas aku ditunggu harimau, dibawah buaya siap
Menerkamku, ketika dia tengah berpikir caranya keluar, tiba-tiba dari
Pinggir sumur yang
Ada lobangnya keluarlah seekor tikus putih
..ciiit…ciiit… .ciit…yang naik meniti tali pemuda tadi Dan mulai
Menggerogoti tali pemuda tadi,..belum hilang keterkejutannya dari lobang
Satunya lagi muncul seekor tikus hitam yang melakukan hal sama seperti
Tikus putih menggerogoti tali yang dipakai pemuda tuk bergelantungan.
Waduh …jika tali ini putus, .habislah riwayatku dimakan buaya..!!!
Cemas dia berpikir,…jika aku naik keatas ..sudah pasti harimau
Menerkamku,. .jika menunggu disini…lama-lama tali ini akan putus Dan
Buaya dibawah siap menyongsongku… Saat itulah dia mendengar dengungan
Rombongan lebah yang sedang mengangkut madu untuk dibawa kesarang
Mereka,..dia mendongakkan wajahnya keatas..Dan tiba-tiba jatuhlah
Setetes madu dari lebah itu langsung tertelan ke mulut pemuda tadi.
Spontan pemuda Tadi berkata…Subhanallah .Alangkah manisnya madu
Ini,..baru sekali ini aku merasakan madu semanis Dan selezat ini…!!!
Dia lupa akan ancaman buaya Dan harimau tadi.

Tahukah kamu, inti dari cerita diatas…???
Pemuda tadi adalah Kita semua, harimau yang mengejar adalah maut Kita,
Ajal memang selalu mengejar Kita. Jadi ingatlah akan mati.
Dua ekor buaya adalah malaikat munkar Dan nakir yang menunggu Kita
Di Alam kubur Kita nantinya .
Tali tempat pemuda bergelayut adalah panjang umur Kita,..jika talinya
Panjang maka pendeklah umur Kita, jika talinya pendek maka panjanglah
Umur Kita.
Tikus putih Dan tikus hitam adalah dunia Kita siang Dan juga malam yang
Senantiasa mengikis umur Kita. Diibaratkan di cerita tadi tikus yang
Menggerogoti tali pemuda.
Madu setetes adalah nikmat dunia yang hanya sebentar. Bayangkan madu
Setetes tadi masuk kemulut pemuda,…sampai dia lupa akan ancaman harimau
Dan buaya,..begitulah Kita, ketika Kita menerima nikmat sedikit, Kita
Lupa kepada Allah. Ketika susah baru ingat kepada Allah.. Astaghfirullah
1 menit untuk mengingat Allah.

Sebutlah dengan sepenuh hati Dan lidah yang fasih akan:
*SUBHANA’LLAH
*ALHAMDULI’LLAH
*LA I LAHA ILLA’LLAH
*ALLAHU AKBAR
*ASTAGHFIRU’ LLAH
*LA ILAH ILLA’LLAH, MUHAMMADUN RASULU’LLAH
*ALLAHUMMA SHOLLI
ALA WA SALLIM WABARIK ALA SAYYEDINA MUHAMMAD *WA
AALIHI WA SAHBIHI AJMA’EEN

Rabu, 03 Desember 2008

Narsiskah Anda?

Pengertian Narsisme

Termasuk narsiskah kalau kita suka memajang foto-foto kita bersama pejabat, artis, tokoh agama, atau kelompok publik figur lain di ruang kerja atau di ruang tamu? Termasuk narsiskah kalau kita menaruh foto kita dan keluarga di desktop komputer di kantor? Termasuk narsiskah kalau kita mengkalungkan aksesoris keagamaan, seperti tasbih, salib, atau lainnya, di mobil atau di leher? Termasuk narsiskah kalau kita kemana-mana mendeklarasikan kesuksesan yang kita raih selama ini?

Kalau melihat definisinya Otto Kernberg (Borderline Condition and Pathological Narcissism: 1975), ternyata jawabannya tidak se-hitam-putih seperti yang selama ini berlaku. Itu bisa narsis dan bisa tidak, tergantung motif dan "nawaitu-nya" (untuk apanya). Menurut Kernberg, narsis itu mencakup berbagai kombinasi dari upaya seseorang dalam mendemonstrasikan ambisi, fantasi-kemewahan, rasa rendah diri, atau kebergantungan secara berlebihan terhadap pengakuan dan penghormatan dari orang lain.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narsisme didefinisikan ke dalam pengertian yang sangat terkait dengan mitos di Yunani Kuno. Seorang dewa Narcis yang tampan rupawan terkena kutuk karena ulahnya yang kurang empatik dalam menolak cinta Dewi Eco. Akhirnya, meski ganteng, tak satu pun perempuan yang mencintainya. Narcis kemudian berkaca di air dan melihat dirinya sendiri yang tampan itu. Jadilah dia mencintai dirinya sendiri. Karena itu, dalam Kamus itu, narsis adalah hal / keadaan mencintai diri sendiri secara berlebihan, mempunyai kecenderungan seksual dengan diri sendiri.

Jadi, termasuk nariskah bila kita melakukan hal-hal di muka? Kalau mengacu ke literaturnya, itu akan termasuk narsis apabila motif yang mendorong kita adalah rasa takut, rasa kurang, atau rasa kosong, dan tujuannya adalah untuk mendapatkan pemenuhan dari luar (orang lain). Misalnya saja kita sangat takut dikatakan orang miskin. Supaya ini tidak terjadi maka kita menciptakan berbagai modus untuk mengelabuhi diri sendiri dan orang lain agar dibilang orang kaya, orang hebat, atau orang terpandang. Narsisme seperti ini dalam kajian literaturnya dimasukkan ke dalam apa yang disebut personality disorder.

Namun jika motif dan tujuannya tidak seperti itu, mungkin saja tidak. Misalnya kita menaruh foto sukses biar kita termotivasi saat mulai depresi. Kita menceritakan kesuksesan agar orang lain bisa mengambil pelajaran dari pengalaman kita. Dan lain-lain dan seterusnya. Ini mungkin yang membuat Andrew Marisson (The Underside of Narcissism: 1997), berkesimpulan bahwa masih ada narsis yang sehat (healthy narcissism).

Lima Tipe Narsisme

Inti dari narsisme adalah penolakan seseorang terhadap realitas dirinya secara tidak sehat (berbohong kepada diri sendiri), denial of the true self, kata Alexader Lowen. Penolakan ini kita wujudkan dalam bentuk rasa cinta berlebihan terhadap bayangan yang kita ciptakan terhadap diri sendiri (self-excessive love based on self image or ego ).

Misalnya saja kita tidak bisa menerima realitas diri kita di kantor sebagai karyawan. Kita kemudian menciptakan bayangan tentang diri sendiri seolah-olah kita adalah pemilik, orang paling dipercaya, atau orang paling hebat di kantor itu. Karena bayangan ini tidak / belum ada bukti pada diri kita, tentunya kita ingin mendapatkan pengakuan atau penghormatan dari pihak luar. Keinginan itulah yang kerap membuat kita terlalu menonjolkan diri.

Dalam kajian Alexader Lowen, seperti ditulisnya dalam Narcissism, Denial of The True Self (1997), ada lima tipe narsisme itu, yaitu:

  • Phallic Narcissistic character: Orang dengan karakter Phallic Narcissitic menginvestasikan energinya untuk merayu dan menarik perhatian. Cirinya antara lain: pede, arogan, elastik, menunjukkan kehebatan, dan seringkali sangat memukau.
  • Narcissistic character. Orang dengan karakter narsis, dikatakan punya image hebat dan dasyat tentang dirinya. Meminjam istilah Lowen, they are not just better, they are the best; they are not just attractive, they are the most attractive. Dalam kenyataannya, ada kasus-kasus di mana orang berkarakter narsis ini memang sukses, top, popular dan berprestasi karena dia mampu "bermain dengan baik" di panggung kehidupan. Tapi biar bagaimana pun juga, tetap saja image -nya lebih besar dari orang-nya.
  • Borderline personality. Orang ini tidak nyata-nyata mendemonstrasikan kesuksesan, kehebatan, yang bisa saja didukung oleh prestasi riil; karena kekuatan ego nya lebih lemah, malah kerapkali di dominasi rasa minder, merasa rapuh, tidak mampu, di liputi keraguan yang besar. Perasaan hebat dan spesial nya di simpan di dalam diri, jadi seperti memutar dan menonton film sendiri.
  • Psychopathic personality: Orang dengan tipe ini dikatakan extreme lack of human fellow feeling - atau bahasa gaulnya no heart feeling, karena bisa mencuri, berbohong, menipu, merusak, bahkan membunuh dengan santai, tanpa dibebani rasa bersalah, atau takut jika ketahuan.
  • Paranoid personality. Orang dengan tipe ini merasa dirinya begitu istimewa sampai-sampai tidak hanya menjadi pusat perhatian, plus jadi sasaran konspirasi orang-orang yang tidak suka padanya.

Apa Yang Menyebabkan ?

Apa ada orang yang benar-benar bersih dari kelima tipe narsisme di atas? Kalau benar-benar bersih mungkin terlalu sangat sulit ditemukan. Hampir pada diri semua orang ada narsisme-nya. Bedanya, ada yang terang-terangan dan ada yang disembunyikan. Ada yang masih wajar dan ada yang sudah tidak wajar. Ada yang masih tahu tempat dan waktu, dan ada yang sudah menyatu dengan kepribadian yang dibawa kemana-mana.

Bedanya lagi, menurut Lowen, adalah soal degree atau skala penonjolan kehebatan-diri. Mungkin ada yang masih wajar dalam arti belum sampai membuat seseorang keliru dalam memandang dirinya atau belum sampai pada tingkat yang sudah bisa mengundang kebencian orang lain dan ada yang sudah kebablasan.

Berbicara soal sebab-sebabnya, hampir tidak ditemukan sebab yang single untuk persoalan yang terkait dengan "ketidaknormalan" jiwa manusia. Karena itu, kalau melihat ke literaturnya, sebab-sebab itu selalu dikelompokkan ke dalam dua sebab induk, yaitu sebab personal (psikologis), yang berarti terkait dengan bagaimana kita mengelola jiwa kita (internal management).

Cerita Malin Kundang menggambarkan bagaimana seseorang merefleksikan dirinya setelah melihat realitas di luar dirinya yang baru. Misalnya saja dia berangkat dari kampung ke kota sebagai orang yang semula bukan siapa-siapa tetapi kemudian di kota dia menjadi sosok yang who is who. Perubahan ini membuat dia narsis dalam arti menonjolkan kehebatan-diri secara berlebihan dan mengukur orang lain dari definisi kehebatan yang ia ciptakan berdasarkan fantasinya sendiri. Sampai-sampai ibunya sendiri tidak diterima karena tidak hebat dan tidak kren.

Selain sebab personal, ada sebab yang disebut kultural atau sebab-sebab yang muncul dari faktor eksternal. Termasuk sebab eksternal adalah pola asuh yang diterima dari kecil. Sebuah keluarga yang mendefinisikan orang secara ekstrim (keluarga, tamu, tetangga, dst) dari sisi kaya-miskin, mewah-tidak mewah, atau menutupi kekurangan dengan cara mengelabuhi, akan sangat berpotensi melahirkan pribadi yang narsis. Bahkan, mengistimewakan kedudukan anak di atas yang lain atas nama budaya dan tradisi, itu ibaratnya menabur bibit narsis.

Termasuk sebab eksternal juga adalah lingkungan dimana kita berada. Tempat kerja, komunitas pergaulan atau masyarakat tertentu yang mendewakan budaya hedonisme (serba harus keren, mewah, dan serba materi) sangat mungkin mempengaruhi kita menjadi narsis. Jangan heran kalau misalnya kita punya teman yang gaya hidupnya berubah karena lingkungan pergaulannya berubah.

Secara hukum alamnya, sebab-sebab eksternal (keadaan dan orang lain) itu hanya sebagai pendukung atau pemicu atas munculnya kepribadian yang narsis. Artinya, lingkungan atau pola asuh tidak bisa dijadikan single predictor. Ini karena, yang menjadi penyebab-penentu (the most determinant factor) adalah sebab internal atau diri kita.

Solusi Dari Dalam

Kalau melihat clue-nya, narsisme (unhealty narcissism) itu terkait dengan sedikitnya tiga isu kejiwaan yang sangat mendasar. Pertama, terkait dengan bagaimana kita meresponi suara penolakan diri atau denial of the self karena tidak puas terhadap diri sendiri (dissatisfaction).

Sebenarnya, rasa tidak puas terhadap diri sendiri akan positif kalau kita gunakan untuk memperbaiki diri atau memunculkan dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Inilah yang disebut "learning, growing, improving". Jika kita sudah kehilangan dorongan untuk berubah, berarti proses learning-nya sudah berhenti dan ini sangat membahayakan.

Tapi akan negatif kalau itu kita gunakan untuk melakukan pertengkaran dengan diri sendiri (konflik diri) sampai membuat jiwa kita kosong (feeling of empty), kurang (feeling of lack), dan takut (feeling of fear). Ini semua akan mendorong kita menempuh modus untuk mengelabuhi diri sendiri supaya bisa mengelabuhi orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penghormatan dari fantasi yang kita ciptakan.

Kedua, terkait dengan bagaimana kita menutupi kekurangan, entah kurang kaya, kurang kompeten, kurang keren, kurang mewah, dan seterusnya. Adanya rasa kurang pun ciptaaan Tuhan. Rasa kurang ini bisa kita gunakan untuk menjadi orang yang tawadlu (rendah hati), dekat sama Tuhan atau juga bisa kita gunakan sebaliknya.

Jika rasa kurang itu mendapatkan respon positif, pasti yang akan muncul adalah motivasi plus, misalnya dorongan untuk penyempurnaan, dorongan untuk mengakui kehebatan orang lain, dorongan untuk berubah, dan seterusnya. Tapi bila responnya negatif, akan sangat mungkin memunculkan motivasi minus, misalnya arogan tanpa alasan, membohongi orang lain untuk menutupi kekurangan, dan seterusnya.

Ketiga, terkait dengan sejauhmana kita melatih diri dalam mendengarkan suara naluri universal. Meski teorinya agak sulit membedakan prilaku yang narsis dan yang bukan, tetapi semua manusia punya naluri universal yang bertugas menerima kebaikan dan menolak kejelekan, entah dari perbuatan kita sendiri atau dari perbuatan orang lain. Kesombongan, penjolan diri berlebihan, atau penipuan diri itu pasti ditolak oleh naluri universal manusia.

Artinya, sejauh kita melatih diri untuk mendengarkan naluri universal kita, pasti kita akan lebih mudah "mengobati" benih-benih penyakit narsisme di dalam diri kita. Untuk bisa mendengarkan, syaratnya adalah jangan terlalu lama atau selalu mendengarkan suara dari luar. Idealnya, kita seimbang dalam mendengarkan suara dari dalam dan suara dari luar.

Kesimpulan

Narsisme dalam konteks perilaku, merupakan manifestasi dari pengingkaran diri (denial of the self). Tercermin dalam sikap penonjolan diri yang bersumber dari respon negatif terhadap ketidakpuasan, kekurangan, atau kehampaan di dalam jiwa. Perasaan miskin dan kosong ini, mendorong "pencarian dan perburuan" pengakuan, kepuasan, pujian, perhatian, dsb dengan cara yang tidak sehat.

Sebelum ada akibat buruk pada / dari orang lain, misalnya kebencian, penolakan, atau yang lain, lebih dulu perilaku ini berakibat buruk pada diri sendiri. Tidak akurat dalam menilai diri dapat membuat kita salah mengambil keputusan untuk diri kita. Akibatnya, kalau tidak mandek ya salah jalan.

Hampir tidak ada jiwa manusia yang tidak ada potensi narsisme-nya. Karena itu, kita semua punya kepentingan untuk memperbaiki diri supaya lebih baik selalu. Dan ini bisa kita mulai dari sekarang juga sesuai keadaan dan kemampuan kita.

Semoga bermanfaat.

Selasa, 02 Desember 2008

Humor Dalam Bingkai Psikologi

lisan ini saya mendefinisikan apa itu humor. Seperti kekurangan ide aja, mendefinisikan humor sementara hampir setiap detik kita tertawa mendengar gelitik canda dalam bus kota, kereta, mobil, ketika menonton televisi, bermain game komputer, membaca buku, singkatnya di manapun berada kita bisa guyon, humor, bahkan dalam alam pikir kita sendiri. Alam pikir? Ya, buktinya ketika tak ada seorang pun yang melontarkan cerita atau celetukan lucu, tetap saja terjadi seseorang tiba-tiba tersenyum bahkan terkikik sendiri. Artinya kita bisa menciptakan kelucuan dari sekitar dengan atau tanpa orang lain.

Lalu, apa itu lelucon, apa itu lucu? Ini tidak sekedar melucu, karena tidak sedikit penelitian psikologi yang menyelidiki humor, termasuk manfaatnya dalam dunia psikologi praktis.

Persepsi tentang Humor
Humor is a social instrument that provides an effective way to reduce psychological distress, communicate a range of feelings and ideas, and enhance relationships; also, humor protects social relationships when communicating negative information. (Baldwin,2007)

Humor provides a means to communicate ideas and feelings, convey criticism, and express hostility in a socially acceptable manner (Brownell & Gardner, 1988; Dixon, 1980; Haig, 1986; Martin, 2001 in Baldwin 2007).

Kemampuan mentertawakan kondisi sekitar, diri sendiri, pilihan sendiri, menjadi salah satu katup yang akan melancarkan kembali kemampatan hidup. Pernah tidak anda mengalami kejadian seperti ini; anda ingin membeli sebuah pesawat televisi, sepertinya begitu sederhana, namun ternyata pilihan yang hadir sangat beragam, tidak hanya itu, anda pun harus menyesuaikan dengan lembaran yang tersedia dalam kantong.

Anda melakukan studi produk dengan membaca informasi dari koran, internet, diskusi dengan teman, kakak, juga orangtua. Lalu, anda mulai melakukan survey ke pusat elektronik terlengkap di kota anda, dijamin deh sesampai di sana anda bisa terbius oleh jajaran pesawat televisi beraneka rupa, ditambah rayuan orang-orang yang seakan tak pernah lelah mengobral keunggulan tiap produk dagangannya. Anda bisa terbius dan akhirnya menunjuk satu kotak ajaib itu, atau perputaran bintang di kepala mendorong anda untuk pulang tanpa satu kotak pilihan pun.

Mungkin anda memilih yang ke dua, karena anda termasuk orang yang tidak mau membeli sesuatu dalam kondisi 'tak sadar diri'. Sehari kemudian, ketika anda sedang berjalan ke arah mesin ATM dekat kompleks rumah, tiba-tiba mata anda tertuju pada satu toko kecil di samping ATM, toko elektronika. Anda pun memasuki toko itu dan melihat beberapa televisi yang tidak menyala dengan gemerlap seperti di beberapa pusat elektronika megah yang kemarin anda kunjungi. Namun, tidak sampai lima belas menit, anda sudah mengulurkan lembaran uang sebagai transaksi diiringi senyum puas.

Kisah sukses ini akan mendapat sambutan riuh sahabat anda, "Huu! jauh-jauh kutemani ke pusat elektronika, belinya di samping rumah"

Kalau ada yang tidak tertawa, atau terguling-guling sakit perut, mungkin kita perlu melihat juga reaksi apa yang terjadi dalam diri sewaktu mengkonsumsi humor.

Reaksi Kognitif & Afektif
Apresiasi terhadap humor tidak murni merupakan kerja kognitif tetapi diperlukan juga keterlibatan proses afektif di dalamnya. Elemen kognitif di sini mengacu pada pemahaman humor dengan kemampuan mengenali atau mendeteksi disparitas antara materi humor dan pengalaman yang pernah terjadi sebelumnya (humor comprehensive). Pada sisi lain, elemen afeksi mengacu pada pengalaman menyenangkan (respons emosional) terhadap materi humor tersebut (humor appreciation) .

Mendengar lelucon, pacuan denyut jantung kita meningkat, kulit tubuh pun bereaksi, disusul segera oleh reaksi afektif yang positif dan kuat (Goldstein, Harman, McGhee, & Karasik, 1975; Katz, 1993; McGhee, 1983 dalam Berry 2004). Inilah yang menjelaskan mengapa badan kita terguncang-guncang, muka memerah, nafas terengah dan telapak tangan memegangi perut ketika mendengar cerita lucu. Semua merupakan kerjasama rapi dan detil dari reaksi kognitif mengenali lelucon yang menjelma dalam reaksi fisik, disertai afeksi menyenangkan.


Menertawakan Lelucon
Apa yang membuat satu kejadian mampu memancing tawa pada sekelompok orang namun tidak sama sekali pada orang lain?

Studi menunjukkan kemampuan membedakan antara lucu dan tidak lucunya stimuli visual terkait pada sederhana atau tidaknya peristiwa termasuk konsepnya. Selain itu, humor juga bisa kita lihat menjadi dua jenis yakni humor verbal dan non-verbal. Apresiasi keduanya tentu tidak sama, humor verbal terkait dengan kemampuan abstraksi dan fleksibilitas mental, sementara humor non-verbal terkait dengan atensi visual.

Lelucon yang kita dengar dalam suatu percakapan membutuhkan kemampuan membayangkan dan menghadirkan imagi visual untuk menghasilkan reaksi positif yaitu tawa atau perasaan geli. Pada humor non verbal, contohnya membaca komik atau menonton film kartun membutuhkan perhatian visual kita untuk menggelitik sensitivitas humor diri kita.

Masih ada hal lain, yaitu pola hubungan sosial yang ternyata berpengaruh untuk menerabas perbedaan stimuli humor verbal maupun non-verbal. Misalnya, sekelompok mahasiswa psikologi, kemungkinan besar telah akrab dengan berbagai istilah yang dengan renyah sering menjadi bahan canda, seperti 'proyeksi', atau 'denial'.

Ketika seseorang dalam kelompok bercerita tentang mahasiswa yang dianggap begitu menyenangi dosen baru padahal di mata dia menyebalkan, kemudian ada celetukan"Proyeksi tuh, padahal wajah lu berbinar juga sekali setiap di kelas dosen ganteng itu" disambut gelak tawa, namun dua mahasiswa Arsitek lain yang kebetulan berada di dekat mereka akan mengernyitkan dahi dan mencoba lebih keras memahami makna kata 'proyeksi'. Apakah sama dengan proyeksi seperti pada gambar perspektif yang sering mereka buat?

Berlaku pula ketika mahasiswa psikologi terkikik melihat cipratan tinta yang secara spontan memancing humor ala test Rosarch, bukan merupakan humor bagi mahasiswa seni rupa misalnya. Maka konteks pun memegang peran di sini.

Humor dalam Konseling
Seperti bentuk interaksi lain dalam kehidupan manusia, sesi konseling pun salah satu bentuk interaksi. Komunikasi selalu memerlukan 'kesamaan bahasa' untuk bisa terhubung. Kita mengenal sebuah istilah ice breaking, sebaai salah satu titik krusial dalam menjalin rapport di garis awal sesi ini. Humor telah menjadi pilihan spontan, tidak kecuali bagi konselor dan klien sendiri.

Konselor perlu melihat dan menentukan kondisi yang tepat ketika akan menyelipkan atau menggunakan humor dalam sesi konselingnya. Penggunaan humor ini menuntut pengukuran tingkat ketepatan dalam waktu dan sensitivitas. Humor yang tepat dan positif bukan tidak mungkin mampu menciptakan great insight bagi kehidupan dan dunia klien.

Sebagai pemecah kekakuan dan ketegangan yang mungkin tercipta di awal konseling, idealnya humor mampu meredakan ketegangan dan memberi kemajuan positif dalam interaksi selanjutnya. Studi telah menunjukkan bahwa humor memang instrumen yang ampuh dalam konseling. Interpretasi tepat terhadap atmosfer atau suasana klien (konseling) serta kepribadian klien, menjadi pertimbangan penting bagi konselor untuk mengeluarkan joke-joke segar sebagai pendukung kesuksesan konseling.

Humor juga merupakan representasi komunikasi dan ekspresi klien. Klien memanfaatkan humor sebagai alat komunikasi untuk menanggapi berbagai aspek yang disajikan dalam proses konseling. Tidak jarang klien merasa grogi atau cemas ketika memasuki sesi konseling, maka humor menjadi barometer tingkat kenyamanan dan keamanan yang akan didapatkan dari interaksi dengan konselor. Kembali, humor berperan sebagai pemecah kekakuan dan ketegangan yang cukup sensitif.

Humor Memacu Kreativitas
Humor dan kesehatan telah banyak diperbincangkan dan dibuktikan, karena tertawa berarti melakukan peregangan otot-otot halus tidak hanya di sekitar wajah tapi seluruh tubuh sehingga kita menjadi santai. Humor juga berkhasiat memacu kreativitas, karenanya sangat dianjurkan dalam ruang kelas maupun ruang keluarga.

Pendekatan komunikasi dan interaksi antara orangtua dan anak, pengajar dan anak didik dapat mendorong kreativitas serta kemampuan berpikir, mengenalkan nilai-nilai, mengajarkan perilaku positif dan tanggung jawab pada lingkungan sekitar, menanamkan rasa percaya dan kepercayaan diri anak-anak dengan mengenalkan satu mekanisme untuk menghadapi kesedihan, kekecewaan atau perasaan duka (Lovorn,2008).

Mengapa? Karena mengapresiasi humor tidak sekedar terbahak, dibutuhkan sensitivitas sosial mencakup momen, siapa dan di mana kita saat itu. Mungkin kita sendiri akan langsung merasa geli menghadai satu kegagalan, tetapi kita perlu berpikir ulang ketika mendapati sahabat yang begitu terpukul pada satu kejadian, tidak serta merta humor bisa menjadi obat kekecewaan. Maka, mengenalkan dan membiasakan humor pada anak-anak, sekaligus melatih banyak aspek seperti terungkap dalam penelitian Lovorn di atas.

JK.Rowling dalam karyanya "Harry Potter" pun menawarkan 'terapi' humor pada pembacanya dengan menciptakan mantra "Ridiculus" untuk melenyapkan Boggart, makhluk non penyihir yang selalu berwujud beda-beda tergantung ketakutan yang dimiliki penyihir. Seperti Ron Weasley yang takut pada laba-laba, maka boggart akan menampakkan dirinya sebagai laba-laba raksasa, mengucapkan mantra Ridiculus dan membayangkan laba-laba (ketakutan) menjadi /melakukan sesuatu yang menggelikan, maka hilanglah ketakutan (Boggart) itu.

Menertawakan ketakutan diri sendiri, menjadi obat penawar yang ampuh, itulah yang ingin disampaikan. Semoga bermanfaat !

Literature:

Baldwin, Erin (2007) Humor Perception: The Contribution of Cognitive Factors. A Dissertation Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy in the College of Arts and Sciences; Georgia State University

Berry, Karlene (2004) The Use of Humor in Counseling. A Research Paper Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Master of Science Degree in Guidance and Counseling:University of Wisconsin-Stout

Lovorn, Michael G (2008) Humor in the Home and in the Classroom: The Benefits of Laughing While We Learn. Journal of Education and Human Development, Volume 2, Issue 1, 2008

10 Kebiasaan Efektif Pembicara Andal

Pembicara andal selalu menghadapi resiko pada saat ia berbicara atau
berpresentasi walau begitu pembicara andal selalu fokus untuk tampil lebih
baik Dibawah ini ada 10 kebiasaan efektif yang dilakukan seorang pembicara
andal :

1. Selalu berusaha menemukan cara untuk menjadi pembicara andal. Selalu
meningkatkan performa dari pengalaman yang dimiliki, selalu belajar dan
mencari cara agar materi yang disampaikan sesuai dengan audiens.

2. Selalu tabah untuk meraih kesuksesan. Didalam dunia public speaking
tidak ada yang instant. Jangan ragu untuk belajar pada sekolah presenter
ataupun rajin-rajin bertanya pada ahli dalam public speaking.

3. Mencintai materi yang akan dibawakan. Audiens tidak akan mendengarkan
anda jika anda sendiri tidak interest dengan materi yang anda bawakan.

4. Rasakan dan sensitive terhadap keinginan audiens. Bagikan pengalaman
yang tidak menyenangkan kepada audiens ketika anda membawa acara.

5. Menghindari pernyataan maupun joke yang menyinggung audiens.
Menggunakan anekdot ataupun quotation untuk menjaga konsentrasi audiens.

6. Menyiapkan materi presentasi dengan teliti. Belajar dari materi yang
telah lampau dan menyempurnakannya berdasarkan pengalaman yang ada.

7. Membangun cerita untuk point penting dalam presentasi sehingga
kemampuan untuk bercerita (story telling) harus selalu dipelajari.

8. Berkomunikasi dengan seluruh panca indera. 80% komunikasi yang efektif
terjalin melalui komunikasi visual dan 20% dari audio dan verbal. Jangan
remehkan alat Bantu visual dalam presentasi.

9. Latihan, untuk mencapai kesempurnaan. Berlatih didepan kaca dan teman.

10. Tidak lupa untuk mengapresiasikan diri sendiri. Bersyukur bahwa tidak
semua orang diberi kesempatan dan kemampuan untuk menjadi seorang pembicara.

Good Luck

Bad Day

uuuuh.....uhhhhh.... lelah sekali hari ini. Entah mengapa hari ini sangat melelahkan, hampir semua kegiatan aku kerjakan sendiri. Mengajar, menerima tamu, pembayaran administrasi siswa dan yang lainnya. Kadang aku berfikir, tidak mudah mengelola sebuah sekolah, butuh perjuangan dan kerja keras. Yah, mau bagaimana lagi memang kondisi hari ini mengharuskan aku untuk turun tangan mlakukan berbagai aktivitas, Dua TU di sekolahku berhalangan hadir. Cape sih, kadang kesal juga menghadapi hal seperti ini, walau begitu aku harus jalani, semoga apa yang aku lakukan bermanfaat dan di ridhoi oleh Allah SWT, amin.

Senin, 01 Desember 2008

Yang Berlebihan Itu Berbahaya

Dulu, ketika sedang marak-maraknya tayangan smackdown, Komisi Penyiaran mendapatkan banyak protes dari masyarakat. Di sejumlah daerah, banyak anak yang mempraktekkan adegan di televisi itu pada temannya. Menurut berita, ada beberapa anak yang harus kehilangan nyawa akibat di-smackdown temannya.

Atas reaksi yang sedemikian hebat dari masyarakat, Komisi Penyiaran akhirnya melarang total tayangan itu. Beberapa akademisi yang dilibatkan di sini beralasan bahwa secara naluri sosial, manusia itu akan cenderung meniru perilaku orang lain yang dilihatnya. Lebih-lebih jika perilaku itu mendapat "restu" (didiamkan atau dianggap wajar) oleh standar sosialnya. Dan lebih-lebih lagi jika perilaku itu negatif. Perilaku negatif jauh lebih cepat menyebar.

Masih sama soal tayangan televisi, anak-anak kecil kini mudah menjadi terlalu cepat dewasa setelah melihat berbagai tayangan. Seorang kawan sempat dikagetkan oleh ucapan anaknya yang baru berumur 5 tahunan. Ketika sang ayah mencoba mendisiplinkan si anak, tiba-tiba si anak bilang ke ibunya begini: "Bu, ceraikan saja si ayah biar aku bisa hidup bebas."

Setelah diingat-ingat, ucapan serupa pernah juga dikatakan si anak kepada ayahnya saat berkonflik dengan ibunya. Oleh karena ucapan ini sudah terlalu dewasa, ditanyalah si anak apa arti cerai itu. Ternyata, si anak menjawab tidak tahu. Lalu ditanya darimana ia tahu? Si anak menjawab "....dari sinetron!"

Kalau kita punya anak yang mau mendekati remaja atau sudah remaja, tantangannya bukan televisi lagi, tapi play station (PS) dan internet. Di berita investigasi sejumlah media terungkap bahwa jumlah anak-anak yang sudah kebablasan cintanya pada PS semakain meningkat. Mereka duduk berjam-jam, anggaran rutinnya sekitar Rp. 30.000 dan bahkan sampai ada yang menginap.

Warnet pun begitu. Dengan menjamurnya warnet, para pengelola berlomba menawarkan fasilitas plus supaya tidak kalah saing. Salah satunya adalah dengan menyediakan ruangan "VIP". Di ruangan itulah polisi menemukan praktek amoral yang dilakukan remaja setelah menonton tayangan amoral Ini terjadi di beberapa tempat, seperti di Yogja, Madiun, Ponorogo, dan di beberapa lokasi di Jabodetabek.

Televisi, internat atau PS, adalah tamu tak diundang yang bisa membawa berkah atau musibah bagi anak-anak kita. Akan menjadi berkah apabila digunakan untuk kebaikannya dan dalam porsi yang masih dianjurkan. Tapi bila tidak, ini akan mendatangkan musibah. Kuncinya, segala yang berlebihan itu seringkali menimbulkan kejelekan.
Bahaya Layar Kaca

Berdasarkan riset sendiri dan riset yang dilakukan lembaga lain di dunia, plus pengalaman beberapa pihak, Teresa Orange dan Louise O’Flynn, penulis buku "The Media Diet for Kids" (Serambi: 2007), mencatat ada sejumlah pengaruh buruk dari layar kaca. Ini antara lain:

1. Perilaku
Perilaku buruk yang kerap ditiru anak-anak dari tayangan televisi antara lain perilaku anti sosial, ledakan kemarahan yang impulsif, apatis terhadap lingkungan, murung dan menarik diri, dan terlalu cepat dewasa. Jika anak kita punya gaya marah yang tak seperti dirinya atau ucapan yang belum sewajarnya, perlu kita cek tontonan yang suka dilihatnya di televisi atau PS.

2. Kesehatan fisik
Pengaruh buruk terhadap kesehatan fisik antara lain menyangkut kegemukan badan karena terlalu banyak duduk atau berbaring sambil nonton. Biasanya masih ditambah dengan ngemil atau minum. Jika ini terus dilakukan, bisa berpengaruh pada buruknya sistem koordinasi tubuh karena kurang gerak.
Untuk anak, kurangnya gerakan fisik akan mempengaruhi proses belajarnya, entah belajar akademik atau belajar hidup. Gordon Dryden (1996) berkesimpulan, ada enam jalur utama menuju otak anak-anak, yaitu melalui kelima indra (pandangan, pendengaran, peraba, pengecap, dan pembau) dan gerakan fisik. "Pastikan anak-anak Anda mendapatkan latihan sebanyak yang mereka inginkan, yang mengandung sebanyak mungkin aktivitas fisik" tulis Tony Buzan

3. Pendidikan
Pengaruh buruknya terhadap pendidikan anak mencakup antara lain: kemampuan berpikir yang dangkal, perkembangan berbicara yang lambat, kemampuan membaca yang lambat, pikiran yang lambat, dan kesulitan tidur sehingga tak bisa tidur secara sehat. Anak yang kecanduan televisi akan sulit berpikir secara mendalam terhadap realitas nyata karena sudah terbawa oleh logika berpikir layar kaca yang "bim salabim" itu.
Lebih-lebih jika mereka sudah terkena kebiasaan tak bergairah membaca karena nonton itu lebih asyik. Kita perlu ingat bahwa membaca itu bukan sekedar akan menambah ilmu, melainkan juga akan mengaktifkan pikiran dan akan memperdalam kapasitas berpikirnya.

4. Hubungan dengan sesama
Anak yang sudah kecanduan televisi juga akan memiliki pola interaksi atau hubungan yang kurang berkualitas atau kurang optimal, entah dengan keluarga atau sesama anak. Jika sampai si anak menggunakan sebagian besar waktunya untuk bertapa di kamar atau di ruangan televisi, mungkin saja mereka akan jarang berkomunikasi secara verbal dengan anggota keluarga. Padahal, dengan berkomunikasi itu anak akan belajar membangun hubungan, dari mulai berbagi kebaikan, dialog, sampai berkonflik.

5. Pandangan dunia.
Kecanduan televisi bisa mempengaruhi pandangan anak terhadap dunia di sekitarnya. Anak akan punya persepsi dunia di luar sana terlalu menyeramkan karena banyak tayangan kejahatan yang penyajiannya di-blow-up habis-habisan oleh televisi. Bahkan terkadang ditunjukkan teknik bagaimana si penjahat itu melakukan kejahatan dan kekejaman untuk menambah sensasi tayangan.
Selain itu, ada budaya yang disebut "Saya ingin". Anak akan mengajukan daftar belanja, saya ingin beli ini, beli itu, dan seterusnya karena ingin memiliki semata, bukan untuk digunakan. Biasanya seputar mainan, makanan, atau pakaian. Dengan kemasan iklan yang sangat bagus di televisi, anak-anak mudah terpengaruh untuk memiliki.

Yang lebih berbahaya lagi ketika si anak memilih idola atau gaya hidup yang tidak sesuai. Dengan menjamurnya idola baru yang diciptakan televisi secara instan, termasuk dari kalangan anak-anak, akan membuat si anak merasa tidak bahagia menjadi dirinya atau dengan prestasinya yang tidak terkait dengan kehidupan para idola. Ini akan terjadi apabila orang dewasa di sekitarnya ikut-ikutan kecanduan idola secara berlebihan.

Kasus lain menunjukkan banyak remaja yang gampang depresi karena orangtua tidak mampu memenuhi biaya yang dibutuhkan untuk menutup gaya hidup yang ingin ditiru anak dari tayangan televisi. Misalnya, anak merasa kehilangan self esteem atau self confidence kalau hidupnya tidak mewah seperti yang dilihat di televisi.

Perlu Pembatasan, Pembekalan, dan Pengarahan
Dengan sejumlah bahaya itu, apa berarti kita perlu melarang anak menonton televisi? Tentu tidak. Televisi tetap memberikan kontribusi positif asal ditonton dengan porsi yang pas. Supaya porsinya pas, perlu ada pembatasan. Berapa batasan yang pas? Hampir tidak ditemukan angka ideal untuk semua anak. Tapi secara umum, angka yang bisa dipakai patokan adalah 2 jam-an. Boleh lebih tapi jangan sampai berlebihan.

Tentu batasan waktu saja tidak cukup. Walaupun nontonya kurang dari dua jam, tapi kalau tayangan yang dilihatnya tak sesuai, tetap punya pengaruh buruk. Karena itu perlu pembekalan dari orangtua. Kenapa pembekalan ini penting? Alasannya, dalam tayangan itu pasti ada perilaku yang patut ditiru, patut dijauhi, dan patut hanya untuk dinikmati saja. Anak terkadang kurang bisa membedakan tiga elemen ini. Tugas kitalah untuk memahamkan mereka.

Selain itu perlu pengarahan. Pengarahan ini sebetulnya lanjutan dari pembekalan. Anak tidak cukup kita bekali dengan nasehat. Supaya informasi yang didapat itu membuahkan pengaruh positif dalam hidupnya, perlu diarahkan, didukung, dan pendampingan. Misalnya saja ada tayangan cerdas cermat, kontes bahasa Inggris, atau perilaku positif tertentu.

Jika si anak suka melihatnya, ini bisa kita pakai sebagai pintu masuk untuk memotivasi dan memfasilitasi mereka supaya lebih giat belajar, lebih giat berolahraga, lebih giat berbuat baik atau lebih kuat menghindari prilaku negatif. Bisa juga mengarahkan anak untuk menjadikan orang-orang yang dilihatnya di layar sebagai role model, misalnya anak meniru gaya presenter tertentu atau tokoh tertentu.

Ciptakan Kondisi & Fasilitasi

Untuk ukuran zaman sekarang ini, mungkin banyak orang yang berkesimpulan tidak bisa menghindarkan anak dari televisi, PS, atau internet. Dan lagi, belum tentu hasilnya lebih bagus. Kalau anak kita sampai menjadi orang yang out-of-date gara-gara tidak mengikuti zaman, bisa-bisa malah minder. Lalu apa solusi jalan tengahnya?

Selain perlu ada pembatasan, pembekalan dan pengarahan itu, masih ada lagi beberapa solusi yang bisa kita lakukan sebagai upaya untuk mengurangi porsi yang sudah berlebihan. Ini antara lain:

* Menghindarkan anak dari tingkat kenyamanan yang terlalu berlebihan dalam menikmati televisi atau PS. Semakin canggih atau semakin besar televisi atau PS, biasanya malah membuat anak semakin nikmat
* Mengurangi berbagai tuntutan privasi yang tidak pada tempatnya, misalnya menaruh internet di kamar pribadi, lebih-lebih di kamar atas, punya kotak rahasia untuk menyimpan CD yang tidak boleh dibuka orangtua, dan lain-lain.
* Menyediakan fasilitas bermain yang menstimulasi anak untuk menggerakkan fisiknya, misalnya sepeda atau peralatan olahraga. Bisa juga dengan menyediakan tayangan khusus, misalnya membelikan CD khusus yang sudah kita lihat isinya. Banyak orangtua yang sudah melakukan ini dan hasilnya Ok
* Mau terlibat dan berbagi informasi positif dengan anak saat melihat tayangan atau searching / browsing internet. Mungkin saja mereka kurang informasi atau pengetahuan seputar situs yang bermanfaat
* Sering-sering mengobrolkan isu yang menarik minat anak untuk terlibat, dari mulai yang ringan sampai ke yang berat, sesuai nalar anak. Mengobrolkan isu, selain bisa mengurangi ketergantungan anak terhadap layar kaca, bisa juga menciptakan kedekatan emosi dan melatih anak dalam bernalar.
* Menyediakan bahan bacaan yang menggugah minat anak. Kalau anak malas atau belum punya tradisi membaca, kita bisa mendorongnya dengan membaca bersama-sama atau bergantian atau membaca sendiri-sendiri lalu saling bercerita. Ini akan terasa lebih fun dan OK
* Menyalurkan bakat, hobi, atau menyediakan fasilitas untuk berkreasi, entah di dalam rumah atau di luar rumah. Ini akan mengurangi kebergantungan anak terhadap layar kaca. Dan yang lebih penting lagi, ini akan memberikan pengalaman positif.
* Sering-sering mengajak anak berpartisipasi dalam kegiatan fisik yang positif dan fun, misalnya membersihkan barang elektronik di rumah, membersihka pekarangan, dan lain-lain.
* Dan yang lebih penting lagi adalah menunjukkan keteladanan dari orang dewasa di rumah. Sulit kita menyuruh anak membaca buku sementara sementara semua orang dewasa di rumah sedang asyik di depan layar kaca.

Kontrol Internal

Semakin banyak temuan akan semakin banyak kepentingan. Televisi, PS, situs internet, masing-masing punya kepentingan yang sah. Kita pun begitu. Karena itu, tak bisa kita selamanya menyalahkan televisi atau penjual PS. Justru yang dibutuhkan adalah memperkuat kontrol internal agar anak mampu menggunakan kapasitasnya dalam memilih untuk memilih yang baik. Semoga bermanfaat.

Terbentuknya Persahabatan

Kita semua tentu punya alasan sendiri kenapa memilih untuk membangun persahabatan. Pada umumnya, hubungan itu timbul karena perasaan yang merasa ada keterikatan (attachment): senasib sepenanggungan, sevisi, seminat, dan seterusnya dan seterusnya. Atau ada juga yang karena kesaling-bergantungan (interdependence): membutuhkan bantuan, dukungan, dan lain-lain.

Dalam prakteknya, persahabatan itu kita bedakan dengan pertemanan. Perbedaan yang paling menonjol terletak pada intensitas keterlibatan emosi dan komitmen. Karena itu, terkadang tidak cukup kita mengatakan "friend" untuk menyebut seorang sahabat, tetapi masih kita tambah dengan kata sifat "close friend". Kalau mengacu ke teori hubungan antar pribadi menurut Verderber & Verderber (Hanna Djumhana Bastaman, M.Psi, 1996) persahabatan itu mungkin istilahnya adalah Deep Friendship. Berdasarkan skala intimasi dan komitmen yang muncul, hubungan antar pribadi itu dikelompokkan menjadi seperti berikut ini:

1. Aquintance Relationship (perkenalan biasa)
2. Friendship Relationship (pertemanan karena kesamaan minat,sifat dan kepentingan
3. Role Relationship (hubungan berdasarkan peranan atau kepentingan)
4. Deep Friendship or Intimate Relationships (Hubungan yang sudah melibatkan emosi
dan komitmen)

Dari bukti-bukti di lapangan ditemukan bahwa persahabatan yang bagus itu punya banyak manfaat. Salah satunya adalah bisa mencegah hipertensi (Reardom, Interpersonal Communication: Where Minds Meet, 1987). Secara kesehatan dijelaskan bahwa hipertensi adalah tekanan darah atau denyut jantung yang lebih tinggi dari yang normal karena ada penyempitan pembuluh darah atau karena sebab lain. Bisa juga berguna untuk menurunkan dan mengurangi potensi stress atau depresi.

Misalnya saja Anda saat ini sedang belajar di lembaga pendidikan yang menerapkan disiplin tegas. Namanya disiplin, pasti maksudnya baik. Cuma, dalam eksekusi di lapangannya, pasti juga ada kemungkinan munculnya penyimpangan prosedur oleh individu yang tak jarang menimbulkan tekanan, ketegangan, atau himpitan. Dengan memiliki cantolan klub, forum, atau kelompok yang tingkat persahabatannya bagus, itu akan bisa membuat kita lebih sabar dan terhibur.

Kalau melihat temuan Maslow, ternyata salah satu karakteristik self-actualized person itu adalah punya sahabat atau kenalan yang jumlahnya sedikit namun berbobot intimasi dan kualitasnya (Human Development, Vander Zender, 1989). Ini mungkin bisa kita tafsirkan bahwa mereka itu punya sahabat atau orang dekat. Tafsiran ini memang seringkali sinkron dengan realitas yang kerap kita temui di lapangan. Banyak 'kan kita mengenal sejumlah tokoh atau orang-orang tertentu yang berprestasi di bidangnya (di semua level) yang ternyata dulu mereka bersahabat dengan orang-orang tertentu dan persahabatan itu berlangsung sampai sekarang.

Bahkan, kata orang, Tuhan itu kalau mengangkat derajat seseorang jarang secara individu. Tuhan itu mengangkat derajat seseorang sekaligus dengan kelompoknya. Ini tentu refleksi personal yang subyektif. Tapi memang secara rasional, ungkapan itu ada rujukannya. Karena mereka yang bersahabat itu membangun kedekatan lahir dan batin, sudah barang tentu mereka punya mindset yang sama, kultur hidup yang sama, atau karakter yang sama. Logikanya, ketika orang sudah dibentuk oleh prinsip-prinsip yang sama, maka sangat mungkin mereka mendapatkan nasib yang sama.

"Isi pikiranmu membentuk tindakanmu, tindakanmu membentuk kebiasaanmu, kebiasaanmu membentuk karaktermu, karaktermu membentuk nasibmu."
(Aristotle)

Jadi, yang menyebabkan mereka punya kesamaan nasib, bukan kesamaan kelompoknya, melainkan kesamaan isi pikiran, tindaan, kebiasaan, dan karakter.

Kapan Kendor & Kapan Pecah
Dalam prakteknya, persahabatan itu bisa kendor dan bisa pula pecah. Secara umum, kendornya intimasi persahabatan itu mulai muncul ketika masing-masing atau salah seorangnya sudah punya kepentingan dan kebutuhan yang ditandai dengan berubahnya status. Misalnya saja dari mahasiswa ke pekerja atau dari bujangan ke ber-rumahtangga, dari orang biasa ke orang penting.

Kalau menurut ucapannya Sigmund Freud, orang dewasa itu isi pikirannya yang paling dominan hanya dua: to love and to work. Mereka berkonsentrasi pada keluarga (to love) dan kerjaannya (to work). Kohesi persahabatan yang terjadi pada kehidupan orang dewasa biasanya adalah lanjutan dari persahabatan sebelumnya atau karena kepentingan dan kondisi yang dirasakan sangat spesifik (benar-benar senasib).

Ini kerap terjadi pada tenaga kerja atau pelajar di luar negeri. Karena sama-sama senasib, sama-sama dari Indonesia, sama-sama punya kepentingan yang sama, dan merasakan keadaan yang relatif sama, maka persahabatan terbentuk. Tapi, menurut kebiasaan, persahabatan yang terbentuk ketika usia seseorang sudah banyak kepentingan, memang rasanya beda dengan ketika seseorang masih di usia remaja atau dewasa muda.

Nah, lalu kapan persahabatan akan terancam bubar? Masalah yang melatarbelakangi bubarnya persahabatan itu pasti bermacam-macam. Menurut Duck (1985), biasanya fase-fase bubarnya hubungan (disolusi) itu diawali dari proses di bawah ini:

1. Ketidakpuasan dari hubungan itu. Misalnya saja kita menerima perlakuan yang tidak fair, atau persahabatan yang ada tidak membuahkan hasil-hasil tertentu seperti yang semula dibayangkan. Misalnya saja persahabatan karena narkoba.
2. Upaya menarik diri. Kita sudah merasa tidak cocok lagi atau ada keinginan untuk menentang atau juga kita menarik diri. Bisa juga setelah kita menghitung untung-rugi, manfaat-keuntungan.
3. Mempraktekkan keputusan unuk menghindar atau menjauh

Bisa juga disolusi itu terjadi sesuai dengan urutan yang ditemukan Hawk Williams (The essence of managing group & teams, 1996) berikut ini:

1. Ada problem yang kita jumpai (menurut versi kita) pada dia
2. Kita membiarkan / tidak menunjukkan problem itu kepada orang yang kita anggap punya masalah dengan kita
3. Problem itu tetap muncul atau terus bertambah
4. Perasaan negatif terus menggunung / mengakumulasi
5. Kita kehilangan perspektif tentang orang itu.

Dalam organisasi kepemudaan yang rata-rata kita lihat mereka bersahabat, urutan di atas kerap terjadi. Si A dipandang telah sering melakukan tindakan yang melanggar prinsip dasar organisasi. Karena bersahabat, mereka tidak langsung menegur atau mengingatkan secara terang-terangan. Si A sendiri tidak sensitif menangkap gelagat ketidaksetujuan para sahabatnya. Proses ini terus berlanjut dan masing-masing pihak menyimpan bara api ketidaksetujuan dan ketidakpedulian di dadanya. Hingga pada puncaknya, Si A dipecat dari organisasi itu. Jika Si A tidak terima, terjadilah upaya saling menjatuhkan dimana masing-masing orang kehilangan perspektif persahabatannya.

"Hindarilah bersahabat dengan orang yang membohongimu,
hindarilah bersahabat dengan orang yang memanfaatkanmu,
dan hindarilah bersahabat dengan orang menjerumuskanmu"
(Ali bin Abu Thalib)

Beberapa Cara Mempertahankan Persahabatan
Untuk persahabatan yang tengah kendor intimasinya karena ada perbedaan dan perubahan, hal-hal yang bisa kita lakukan adalah:

Pertama, menjaga ritme dan frekuensi hubungan. Jangan terlalu sering atau jangan sama sekali putus hubungan. Aturlah ritme dan frekuensinya. Kenapa? Jika Anda terlalu sering, padahal status dan peranan sahabat Anda itu sudah tidak seperti dulu lagi, akan lain tafsirannya. Tapi jika hubungan itu terputus sama sekali, ini juga tidak tepat.

Jika kebetulan nasib kita ternyata lebih di atas, akan lebih bagus kalau kita yang berinisiatif memulai memelihara persahabatan itu. Kalau memungkinkan dan itu dibutuhkan, yang perlu kita lakukan bukan semata 'say hello' atau sekedar bernostalgia, melainkan juga perlu merambah ke gagasan-gagasan pemberdayaan, entah untuk sahabat kita yang lain atau untuk orang lain.

Kedua, hormati privasinya. Dengan peranan dan status yang sudah tidak seperti dulu lagi, tentu sahabat kita ini memiliki aturan hidup yang baru, entah itu terkait dengan keluarganya atau pekerjaannya. Agar persahabatan tetap terjaga, yang perlu kita lakukan adalah menghormati privasinya. Bahkan juga tidak saja perlu menghormati dia semata, tetapi juga orang-orang penting di sekitarnya, misalnya saja suami-istri, atasan-bawahan, dan lain-lain.

Apabila kita berada di posisi yang sebaliknya (orang yang dicari), yang perlu kita hindari adalah curiga duluan kalau sahabat kita ini pasti membawa masalah atau mau minta bantuan, hanya memberi nasehat dengan cara merendahkan, hanya memamerkan kekayaan (unjuk-diri), atau memperlakukannya terlalu formal dan menunjukkan kesan terlalu menjaga wibawa.

Ketiga, hindari meminta bantuan dengan nada dan gaya menuntut (demanding) kecuali memang ada suasana psikologis yang mendukung dan itu tidak melibatkan orang lain selain sahabat Anda. Lebih-lebih, karena tuntutan kita tak terpenuhi, kita kemudian menyebarkan gosip tak sedap, misalnya sahabat kita ini sekarang orangnya sudah lain, makin sombong, angkuh, tak peduli, dan lain-lain. Akan lebih sip kalau kita menempuh cara-cara profesional yang tetap mengedepankan etika dan strategi.

Bila kita berada di posisi sebaliknya, hindari mengeluarkan pernyataan semacam tidak bisa, itu sulit, atau itu tidak mungkin dan semisalnya dengan nada untuk menutup berbagai kemungkinan. Kalau kita tidak bisa membantu langsung, kita bisa membantu secara tidak langsung. Kalau kita tidak bisa membantu keinginannya, kita bisa membantu kebutuhannya. Intinya, munculkan semangat untuk membantu.

Itu semua bisa kita lakukan ketika persahabatan kita dulu adalah persahabatan dalam hal-hal yang positif. Untuk persahabatan yang negatif, tinggalkanlah dengan cara yang baik. Misalnya dulu kita punya geng yang suka narkoba. Karena kita sudah tobat, kita perlu memutus hubungan dengan sahabat-sahabat yang masih terlibat. Tujuannya adalah agar kita tidak terlibat lagi.

Adapun untuk kita yang masih dalam tahap sedang asyik-asyiknya menjalani hidup dengan persahabatan, beberapa hal yang perlu kita ingat adalah:

1. Nikmatilah persahabatan yang ada tetapi jangan sampai menghilangkan diri Anda. Jadikan persahabatan saat ini sebagai lahan untuk aktualisasi-diri dengan bertukar pengalaman, pengetahuan, informasi, berbagi perasaan, dan lain-lain. Termasuk juga jangan sampai persahabatan ini merenggangkan hubungan dengan orang-orang inti: orangtua dan keluarga. Anda tetap bisa bersahabat tanpa harus memunculkan ketegangan dengan orangtua atau keluarga
2. Inisiatifkan untuk memunculkan gagasan-gagasan positif, entah itu yang berkaitan dengan akademik atau non-akademik. Sebagai acuan, buatlah learning group (kajian akademik, dst), problem solving group (bantuan sosial, dst), atau growth group (pengasahan bakat, dst). Ini sangat bermanfaat bagi kemajuan Anda di masa mendatang.
3. Jagalah jangan sampai punya kepentingan yang bertabrakan dengan kepentingan sahabat. Bila itu terjadi, buatlah kesepakatan sefair mungkin dengan melibatkan sahabat lain.
4. Hormatilah dan jangan "memanfaatkan". Misalnya kita bersahabat dengan si anu karena orangtuanya kaya, terpandang, atau ada agenda politis yang kita sembunyikan untuk memanfaatkan sahabat kita. Bersahabatlah karena kecocokan jiwa.
5. Mendukung dan membantu. Banyak orang yang bisa membantu sahabatnya ketika sedang kesusahan tetapi tidak bisa mendukung sahabatnya yang sedang meraih kemajuan. Lawanlah iri dengki di dada dengan cara mendukung dan membantu.
6. Kembangkan perspektif yang fair. Biarpun itu sahabatmu, jangan sampai kehilangan perspektif yang fair. Sebab, pasti ada yang positif dan pasti ada yang negatif. Temukan positifnya sebanyak mungkin.
7. Biasakan saling memberi nasehat dengan cara yang bersahabat, bukan dengan cara menilai, mengoreksi, lebih-lebih membicarakannya di belakang.

"Sahabatmu adalah orang yang sudah tahu banyak tentang dirimu
dan tetap bersahabat denganmu"

Yang Berlebihan Itu Berbahaya

Dulu, ketika sedang marak-maraknya tayangan smackdown, Komisi Penyiaran mendapatkan banyak protes dari masyarakat. Di sejumlah daerah, banyak anak yang mempraktekkan adegan di televisi itu pada temannya. Menurut berita, ada beberapa anak yang harus kehilangan nyawa akibat di-smackdown temannya.

Atas reaksi yang sedemikian hebat dari masyarakat, Komisi Penyiaran akhirnya melarang total tayangan itu. Beberapa akademisi yang dilibatkan di sini beralasan bahwa secara naluri sosial, manusia itu akan cenderung meniru perilaku orang lain yang dilihatnya. Lebih-lebih jika perilaku itu mendapat "restu" (didiamkan atau dianggap wajar) oleh standar sosialnya. Dan lebih-lebih lagi jika perilaku itu negatif. Perilaku negatif jauh lebih cepat menyebar.

Masih sama soal tayangan televisi, anak-anak kecil kini mudah menjadi terlalu cepat dewasa setelah melihat berbagai tayangan. Seorang kawan sempat dikagetkan oleh ucapan anaknya yang baru berumur 5 tahunan. Ketika sang ayah mencoba mendisiplinkan si anak, tiba-tiba si anak bilang ke ibunya begini: "Bu, ceraikan saja si ayah biar aku bisa hidup bebas."

Setelah diingat-ingat, ucapan serupa pernah juga dikatakan si anak kepada ayahnya saat berkonflik dengan ibunya. Oleh karena ucapan ini sudah terlalu dewasa, ditanyalah si anak apa arti cerai itu. Ternyata, si anak menjawab tidak tahu. Lalu ditanya darimana ia tahu? Si anak menjawab "....dari sinetron!"

Kalau kita punya anak yang mau mendekati remaja atau sudah remaja, tantangannya bukan televisi lagi, tapi play station (PS) dan internet. Di berita investigasi sejumlah media terungkap bahwa jumlah anak-anak yang sudah kebablasan cintanya pada PS semakain meningkat. Mereka duduk berjam-jam, anggaran rutinnya sekitar Rp. 30.000 dan bahkan sampai ada yang menginap.

Warnet pun begitu. Dengan menjamurnya warnet, para pengelola berlomba menawarkan fasilitas plus supaya tidak kalah saing. Salah satunya adalah dengan menyediakan ruangan "VIP". Di ruangan itulah polisi menemukan praktek amoral yang dilakukan remaja setelah menonton tayangan amoral Ini terjadi di beberapa tempat, seperti di Yogja, Madiun, Ponorogo, dan di beberapa lokasi di Jabodetabek.

Televisi, internat atau PS, adalah tamu tak diundang yang bisa membawa berkah atau musibah bagi anak-anak kita. Akan menjadi berkah apabila digunakan untuk kebaikannya dan dalam porsi yang masih dianjurkan. Tapi bila tidak, ini akan mendatangkan musibah. Kuncinya, segala yang berlebihan itu seringkali menimbulkan kejelekan.
Bahaya Layar Kaca

Berdasarkan riset sendiri dan riset yang dilakukan lembaga lain di dunia, plus pengalaman beberapa pihak, Teresa Orange dan Louise O’Flynn, penulis buku "The Media Diet for Kids" (Serambi: 2007), mencatat ada sejumlah pengaruh buruk dari layar kaca. Ini antara lain:

1. Perilaku
Perilaku buruk yang kerap ditiru anak-anak dari tayangan televisi antara lain perilaku anti sosial, ledakan kemarahan yang impulsif, apatis terhadap lingkungan, murung dan menarik diri, dan terlalu cepat dewasa. Jika anak kita punya gaya marah yang tak seperti dirinya atau ucapan yang belum sewajarnya, perlu kita cek tontonan yang suka dilihatnya di televisi atau PS.

2. Kesehatan fisik
Pengaruh buruk terhadap kesehatan fisik antara lain menyangkut kegemukan badan karena terlalu banyak duduk atau berbaring sambil nonton. Biasanya masih ditambah dengan ngemil atau minum. Jika ini terus dilakukan, bisa berpengaruh pada buruknya sistem koordinasi tubuh karena kurang gerak.
Untuk anak, kurangnya gerakan fisik akan mempengaruhi proses belajarnya, entah belajar akademik atau belajar hidup. Gordon Dryden (1996) berkesimpulan, ada enam jalur utama menuju otak anak-anak, yaitu melalui kelima indra (pandangan, pendengaran, peraba, pengecap, dan pembau) dan gerakan fisik. "Pastikan anak-anak Anda mendapatkan latihan sebanyak yang mereka inginkan, yang mengandung sebanyak mungkin aktivitas fisik" tulis Tony Buzan

3. Pendidikan
Pengaruh buruknya terhadap pendidikan anak mencakup antara lain: kemampuan berpikir yang dangkal, perkembangan berbicara yang lambat, kemampuan membaca yang lambat, pikiran yang lambat, dan kesulitan tidur sehingga tak bisa tidur secara sehat. Anak yang kecanduan televisi akan sulit berpikir secara mendalam terhadap realitas nyata karena sudah terbawa oleh logika berpikir layar kaca yang "bim salabim" itu.
Lebih-lebih jika mereka sudah terkena kebiasaan tak bergairah membaca karena nonton itu lebih asyik. Kita perlu ingat bahwa membaca itu bukan sekedar akan menambah ilmu, melainkan juga akan mengaktifkan pikiran dan akan memperdalam kapasitas berpikirnya.

4. Hubungan dengan sesama
Anak yang sudah kecanduan televisi juga akan memiliki pola interaksi atau hubungan yang kurang berkualitas atau kurang optimal, entah dengan keluarga atau sesama anak. Jika sampai si anak menggunakan sebagian besar waktunya untuk bertapa di kamar atau di ruangan televisi, mungkin saja mereka akan jarang berkomunikasi secara verbal dengan anggota keluarga. Padahal, dengan berkomunikasi itu anak akan belajar membangun hubungan, dari mulai berbagi kebaikan, dialog, sampai berkonflik.

5. Pandangan dunia.
Kecanduan televisi bisa mempengaruhi pandangan anak terhadap dunia di sekitarnya. Anak akan punya persepsi dunia di luar sana terlalu menyeramkan karena banyak tayangan kejahatan yang penyajiannya di-blow-up habis-habisan oleh televisi. Bahkan terkadang ditunjukkan teknik bagaimana si penjahat itu melakukan kejahatan dan kekejaman untuk menambah sensasi tayangan.
Selain itu, ada budaya yang disebut "Saya ingin". Anak akan mengajukan daftar belanja, saya ingin beli ini, beli itu, dan seterusnya karena ingin memiliki semata, bukan untuk digunakan. Biasanya seputar mainan, makanan, atau pakaian. Dengan kemasan iklan yang sangat bagus di televisi, anak-anak mudah terpengaruh untuk memiliki.

Yang lebih berbahaya lagi ketika si anak memilih idola atau gaya hidup yang tidak sesuai. Dengan menjamurnya idola baru yang diciptakan televisi secara instan, termasuk dari kalangan anak-anak, akan membuat si anak merasa tidak bahagia menjadi dirinya atau dengan prestasinya yang tidak terkait dengan kehidupan para idola. Ini akan terjadi apabila orang dewasa di sekitarnya ikut-ikutan kecanduan idola secara berlebihan.

Kasus lain menunjukkan banyak remaja yang gampang depresi karena orangtua tidak mampu memenuhi biaya yang dibutuhkan untuk menutup gaya hidup yang ingin ditiru anak dari tayangan televisi. Misalnya, anak merasa kehilangan self esteem atau self confidence kalau hidupnya tidak mewah seperti yang dilihat di televisi.

Perlu Pembatasan, Pembekalan, dan Pengarahan
Dengan sejumlah bahaya itu, apa berarti kita perlu melarang anak menonton televisi? Tentu tidak. Televisi tetap memberikan kontribusi positif asal ditonton dengan porsi yang pas. Supaya porsinya pas, perlu ada pembatasan. Berapa batasan yang pas? Hampir tidak ditemukan angka ideal untuk semua anak. Tapi secara umum, angka yang bisa dipakai patokan adalah 2 jam-an. Boleh lebih tapi jangan sampai berlebihan.

Tentu batasan waktu saja tidak cukup. Walaupun nontonya kurang dari dua jam, tapi kalau tayangan yang dilihatnya tak sesuai, tetap punya pengaruh buruk. Karena itu perlu pembekalan dari orangtua. Kenapa pembekalan ini penting? Alasannya, dalam tayangan itu pasti ada perilaku yang patut ditiru, patut dijauhi, dan patut hanya untuk dinikmati saja. Anak terkadang kurang bisa membedakan tiga elemen ini. Tugas kitalah untuk memahamkan mereka.

Selain itu perlu pengarahan. Pengarahan ini sebetulnya lanjutan dari pembekalan. Anak tidak cukup kita bekali dengan nasehat. Supaya informasi yang didapat itu membuahkan pengaruh positif dalam hidupnya, perlu diarahkan, didukung, dan pendampingan. Misalnya saja ada tayangan cerdas cermat, kontes bahasa Inggris, atau perilaku positif tertentu.

Jika si anak suka melihatnya, ini bisa kita pakai sebagai pintu masuk untuk memotivasi dan memfasilitasi mereka supaya lebih giat belajar, lebih giat berolahraga, lebih giat berbuat baik atau lebih kuat menghindari prilaku negatif. Bisa juga mengarahkan anak untuk menjadikan orang-orang yang dilihatnya di layar sebagai role model, misalnya anak meniru gaya presenter tertentu atau tokoh tertentu.

Ciptakan Kondisi & Fasilitasi

Untuk ukuran zaman sekarang ini, mungkin banyak orang yang berkesimpulan tidak bisa menghindarkan anak dari televisi, PS, atau internet. Dan lagi, belum tentu hasilnya lebih bagus. Kalau anak kita sampai menjadi orang yang out-of-date gara-gara tidak mengikuti zaman, bisa-bisa malah minder. Lalu apa solusi jalan tengahnya?

Selain perlu ada pembatasan, pembekalan dan pengarahan itu, masih ada lagi beberapa solusi yang bisa kita lakukan sebagai upaya untuk mengurangi porsi yang sudah berlebihan. Ini antara lain:

* Menghindarkan anak dari tingkat kenyamanan yang terlalu berlebihan dalam menikmati televisi atau PS. Semakin canggih atau semakin besar televisi atau PS, biasanya malah membuat anak semakin nikmat
* Mengurangi berbagai tuntutan privasi yang tidak pada tempatnya, misalnya menaruh internet di kamar pribadi, lebih-lebih di kamar atas, punya kotak rahasia untuk menyimpan CD yang tidak boleh dibuka orangtua, dan lain-lain.
* Menyediakan fasilitas bermain yang menstimulasi anak untuk menggerakkan fisiknya, misalnya sepeda atau peralatan olahraga. Bisa juga dengan menyediakan tayangan khusus, misalnya membelikan CD khusus yang sudah kita lihat isinya. Banyak orangtua yang sudah melakukan ini dan hasilnya Ok
* Mau terlibat dan berbagi informasi positif dengan anak saat melihat tayangan atau searching / browsing internet. Mungkin saja mereka kurang informasi atau pengetahuan seputar situs yang bermanfaat
* Sering-sering mengobrolkan isu yang menarik minat anak untuk terlibat, dari mulai yang ringan sampai ke yang berat, sesuai nalar anak. Mengobrolkan isu, selain bisa mengurangi ketergantungan anak terhadap layar kaca, bisa juga menciptakan kedekatan emosi dan melatih anak dalam bernalar.
* Menyediakan bahan bacaan yang menggugah minat anak. Kalau anak malas atau belum punya tradisi membaca, kita bisa mendorongnya dengan membaca bersama-sama atau bergantian atau membaca sendiri-sendiri lalu saling bercerita. Ini akan terasa lebih fun dan OK
* Menyalurkan bakat, hobi, atau menyediakan fasilitas untuk berkreasi, entah di dalam rumah atau di luar rumah. Ini akan mengurangi kebergantungan anak terhadap layar kaca. Dan yang lebih penting lagi, ini akan memberikan pengalaman positif.
* Sering-sering mengajak anak berpartisipasi dalam kegiatan fisik yang positif dan fun, misalnya membersihkan barang elektronik di rumah, membersihka pekarangan, dan lain-lain.
* Dan yang lebih penting lagi adalah menunjukkan keteladanan dari orang dewasa di rumah. Sulit kita menyuruh anak membaca buku sementara sementara semua orang dewasa di rumah sedang asyik di depan layar kaca.

Kontrol Internal

Semakin banyak temuan akan semakin banyak kepentingan. Televisi, PS, situs internet, masing-masing punya kepentingan yang sah. Kita pun begitu. Karena itu, tak bisa kita selamanya menyalahkan televisi atau penjual PS. Justru yang dibutuhkan adalah memperkuat kontrol internal agar anak mampu menggunakan kapasitasnya dalam memilih untuk memilih yang baik. Semoga bermanfaat.

Minggu, 30 November 2008

Anak-Anak Karbitan

Dari milis tetangga....

ANAK-ANAK KARBITAN


Oleh Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD
Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut
Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage
Foundation.

Anak-anak yang digegas Menjadi cepat mekar Cepat matang Cepat layu...Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana mana orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga persekolahanyang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan
anak-anak mereka pelayanan pendidikan yang baik. Taman kanak-kanak pun berdiri dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa.. Kursus-kursus kilat untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang
puluhan ribu hingga jutaan rupiah per bulannya. Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan sehat melalui kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan. Penuh tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi kantung orangtua ...

Captive market! Kondisi diatas terlihat biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi di intenet dan lileratur yang ada tentang bagaimana
pendidikan yang patut bagi anak usia dini, maka kita akan terkejut!
Saat ini hampir sebagian besar penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini melakukan kesalahan. Di samping ketidak patutan yang dilakukan oleh orang tua akibat ketidak tahuannya!
Anak-Anak Yang Digegas...

Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadapanak. Diantaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuanintelektua l secara dini. Akibatnya bermunculanlah anak-anak ajaib dengan kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untukmenjalani akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan kecakapan-kecakapan akademik dl dalam dan di luar sekolah. Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan ini terjadi
pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra seorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang
matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anakjenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian?
James Thurber seorang wartawan terkemuka. pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis.Si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada beberapa waktu silam.

Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi pada seorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952, di mana seorang Ibu yang bernama Aaron Stern telah berhasil melakukan eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan
kognitif anaknya, sejak si anak masih berupa janin.. Baru saja bayi itu lahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang bayi. Kemudian diajak berbicara dengan menggunakan bahasa orang dewasa. Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan
kosa kata baru. Hasilnya sungguh mencengangkan! Di usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun Edith telah menyelesaikan membaca ensiklopedi Britannica. Usia 9 tahun ia membaca enam buah buku dan Koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun dia masuk universitas. Ketika usianya menginjak 15 tahun lamenjadi guru matematika di Michigan State University. Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga.

Namun khabar Edith selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa. Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa. Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang
terkenal yang berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat mereka kecil mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai murid yang dungu.

Seperti halnya Einstien yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun. Selama berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak di masa depan sangat ditentukan oleh faktor kognitif. Otak memang memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu banyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan "Early Childhood Training". Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasanmya. .
Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90 % bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak kiri. Sementara fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10%
saja. Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam proses pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang di mana-rnana, di Indonesia.

"Early Ripe, early Rot...!"

Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 1990 di Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan pentingnya pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini. Orangtua merasa apabila mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, membaca dan menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan 'peluang emas" bagi anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak mereka sesegera mungkin ke Taman Kanak-kanak (Pra Sekolah). Taman Kanak-kanak pun dengan senang hati menerima anak-anak yang masih berusia di bawah usia 4 tahun. Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan membaca dan berhitung secara formal sebagai pemula.

Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amerika sudah dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Mulailah "Era Headstart" merancah dunia pendidikan. Para akademisi begitu optimis untuk membelajarkan wins dan matematika kepada anak sebanyak dan sebisa mereka (tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak tentang anak, apa yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak.

Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan Jerome Bruner, seorang psikolog dari Harvard University yang menulis sebuah buku terkenal "The Process of Education" pada tahun 1990. Ia menyatakan bahwa kompetensi anak untuk belajar sangat tidak berhingga. Inilah buku suci pendidikan yang mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika . "We begin with the hypothesis that any subject can be taught effectively in some intellectually honest way to any child at any
stage of development" .

Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang di salahartikan oleh banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana! Pendidikan dilaksanakan dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang dan cepat busuk... early ripe, early rot!

Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat pra sekolah hingga usia SD. Di rumah para orangtua kemudian juga melakukan hal yang sama, yaitu mengajarkan sedini mungkin anak-anak mereka membaca ketika Glenn Doman menuliskan kiat-kiat praktis membelajarkan bayi membaca.

Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep "kesiapan-readiness " dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang "biological limititations on learning'. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan
intervensi dini dan rangsangan inlelektual dini kepada anak agar mereka segera siap belajar apapun.

Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah membuat anak-anak menjadi cepat mekar. Anak -anak menjadi "miniature orang dewasa ". Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa. Di sisi lain media pun merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku, film, televisi, dan internet. Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas ditonton anak anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media begitu merangsang keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa. sebagai seksual promosi yang menyesatkan. Pendek kata media telah memekarkan bahasa, berpikir dan perilaku anak tumbuh kembang secara cepat.

Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? Apakah faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan seperti halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja
anak terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka tidak seperti orang dewasa. Anak-anak memang terlihat tumbuh cepat di berbagai hal tetapi tidak di semua hal. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda dengan tumbuh mekarnya kecerdasan (intelektual) anak. Oleh karena perkembangan emosi lebih rumit dan sukar, terkait dengan berbagai keadaan, Cobalah perhatikan, khususnya saat perilaku anak menampilkan gaya "kedewasaan ", sementara perasaannya menangis berteriak sebagai "anak".

Seperti sebuah lagu popular yang pernah dinyanyikan suara emas seorang anak laki-laki "Heintje" di era tahun 70-an... I'm Nobody'S Child I'M NOBODY'S CHILD I'M nobody's child I'm nobodys child Just like a flower I'm growing wild No mommies kisses and no daddy's smile Nobody's louch
me I'm nobody's child.

Dampak berikutnya terjadi ... ketika anak memasuki usia remaja Akibat negatif lainnya dari anak-anak karbitan terlihat ketika ia memasuki usia remaja. Mereka tidak segan segan mempertontonkan berbagai macam perilaku yang tidak patut. Patricia O'Brien menamakannya sebagai "The Shrinking of Childhood". Lu belum tahu ya... bahwa gue telah melakukan segalanya", begitu pengakuan seorang remaja pria berusia 12 tahun kepada teman-temannya. "Gue tahu apa itu minuman keras, drug, dan seks" serunya bangga.

Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua menjadi cepat mekar.... kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak dipedulikan! Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh, untuk belajar dan untuk berkembang, sebuah proses dalam kehidupannya !

Saat ini terlihat kecenderungan keluarga muda lapisan menengah ke atas yang berkarier di luar rumah tidak memiliki waktu banyak dengan anak-anak mereka. Atau pun jika si ibu berkarier di dalam rumah, ia lebih mengandalkan tenaga "baby sitter" sebagai pengasuh anak-anaknva. Colette Dowling menamakan ibu-ibu muda kelompok ini sebagai "Cinderella Syndrome" yang senang window shopping, ikut arisan, ke salon memanjakan diri, atau menonton telenovela atau buku romantis. Sebagai bentuk ilusi rnenghindari kehidupan nyata yang mereka jalani.

Kelompok ini akan sangat bangga jika anak-anak mereka bersekolah di
lembaga pendidikan yang mahal, ikut berbagai kegiatan kurikuler, ikut
berbagai Les, dan mengikuti berbagai arena, seperti lomba penyanyi
cilik, lomba model ini dan itu. Para orangtua ini juga sangat bangga
jika anak-anak mereka superior di segala bidang, bukan hanya di
sekolah. Sementara orangtua yang sibuk juga mewakilkan diri mereka
kepada baby sitter terhadap pengasuhan dan pendidikan anak-anak
mereka. Tidak jarang para baby sitter ini mengikuti pendidikan
parenting di lembaga pendidikan eksekutif sebagai wakil dari orang tua.

ERA SUPERKIDS

Kecenderungan orangtua menjadikan anaknva "be special " daripada "be
average or normal" sernakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin
anak-anak mereka menjadi "to excel to be the best". Sebetulnya tidak
ada yang salah. Nanun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai
mengikuti berbagai kepentingan orangtua untuk menyuruh anak mereka
mengikuti beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa,
renang, basket, balet, tari ball, piano, biola, melukis, dan banyak
lagi lainnya...maka lahirlah anak-anak super---"SUPERKIDS' ". Cost
merawat anak superkids ini sangat mahal.

Era Superkids berorientasi kepada "Competent Child". Orangtua saling
berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya "earlier is
better". Semakin dini dan cepat dalam menginvestasikan beragam
pengetahuan ke dalam diri anak mereka, maka itu akan semakin baik.
Neil Posmant seorang sosiolog Amerika pada tahun 80-an meramalkan
bahwa jika anak-anak tercabut dari masa kanak-kanaknya, maka
lihatlah... ketika anak anak itu menjadi dewasa, maka ia akan menjadi
orang dewasa yang ke kanak-kanakan!

BERBAGAI GAYA ORANGTUA

Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan
berbagai gaya orangtua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan
"mis-education" terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya. Elkind
(1989) mengelompokkan berbagai gaya orangtua dalam pengasuhan, antara
lain:

Gourmet Parents-- (ORTU B0RJU)

Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah
bagus, mobil mewah, liburan ke tempat-tempat yang eksotis di dunia,
dengan gaya hidup kebarat baratan. Apabila menjadi orangtua maka
mereka akan cenderung merawat anak-anaknya seperti halnya merawat
karier dan harta mereka. Penuh dengan ambisi! Berbagai macam buku akan
dibaca karena ingin tahu isu-isu mutakhir tentang cara mengasuh anak.
Mereka sangat percaya bahwa tugas pengasuhan yang baik seperti halnya
membangun karier, maka "superkids" merupakan bukti dari kehebatan
mereka sebagai orangtua. Orangtua kelompok ini memakaikan anak-anaknya
baju-baju mahal bermerek terkenal, memasukkannya ke dalam
program-program eksklusif yang prestisius. Keluar masuk restoran
mahal. Usia 3 tahun anak-anak mereka sudah diajak tamasya keliling
dunia mendampingi orangtuanya. Jika suatu saat kita melihat sebuah
sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh berbagai merek mobil
terkenal, maka itulah sekolah banyak kelompok orangtua "gourmet " atau
kelompok borju menyekolahkan anak-anaknya.

College Degree Parents --- (ORTU INTELEK )
Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah
ke atas. Mereka sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering
melibatkan diri dalam barbagai kegiatan di sekolah anaknya. Misalnya
membantu membuat majalah dinding dan kegiatan ekstra kurikular
lainnya. Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari
kesuksesan hidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak
mereka "Superkids ", apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik
yang tinggi. Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke sekolah
mahal yang prestisius sebagai bukti bahwa mereka mampu dan percaya
bahwa pendidikan yang baik tentu juga harus dibayar dengan pantas.
Kelebihan kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap
kurikulum yang dilaksanakan di sekolah anak anaknya. Dan dalam banyak
hal mereka banyak membantu dan peduli dengan kondisi sekolah.

Gold Medal Parents --(ORTU SELEBRITIS )
Kelompok ini adalah kelompok orangtua yang menginginkan anak-anaknya
menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering
mengikutkan anaknya ke berbagai kompetisi dan gelanggang. Ada
gelanggang ilmu pengetahuan seperti Olimpiade matematika dan sains
yang akhir-akhir ini lagi marak di Indonesia . Ada juga gelanggang
seni seperti ikut menyanyi, kontes menari, terkadang kontes
kecantikan. Berbagai cara akan mereka tempuh agar anak-anaknya dapat
meraih kemenangan dan merijadi "seorang Bintang Sejati ". Sejak dini
mereka persiapkan anak-anak mereka menjadi "Sang Juara", mulai dari
juara renang, menyanyi dan melukis hingga none abang cilik kelika
anak-anak mereka masih berusia TK.

Sebagai ilustrasi dalam sebuah arena lomba ratu cilik di Padang
puluhan anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah menunggu
di mulainya lomba pakaian adat. Ruangan yang sesak, penuh asap rokok,
dan acara yang molor menunggu datangnya tokoh anak dari Jakarta.
Anak-anak mulai resah, berkeringat, mata memerah karena keringat
melelehi mascara anak kecil mereka. Para orangtua masih bersemangat,
membujuk anak-anaknya bersabar.

Mengharapkan acara segera di mulai dan anaknya akan kelular sebagai
pemenang. Sementara pihak penyelenggara mengusir panas dengan berkipas
kertas.Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri anak akibat perilaku
ambisi kelompok gold medal parents ini. Sebagai contoh pada tahun
70-an seorang gadis kecil pesenam usia TK rnengalami kelainan tulang
akibat ambisi ayahnya yang guru olahraga. Atau kasus "bintang cilik"
Yoan Tanamal yang mengalami tekanan hidup dari dunia glamour masa
kanak-kanaknya. Kemudian menjadikannya pengguna dan pengedar narkoba
hingga menjadi penghuni penjara. Atau bintang cilik dunia Heintje yang
setelah dewasa hanya menjadi pasien dokter jiwa. Gold medal parent
menimbulkan banyak bencana pada anak-anak mereka!

Pada tanggal 29 Mei lalu kita saksikan di TV bagaimana bintang cilik
"Joshua" yang bintangnya mulai meredup dan mengkhawatirkan
orangtuanya. Orangtua Joshua berambisi untuk kembali menjadikan
anaknya seorang bintang dengan kembali menggelar konser tunggal.
Sebagian dari kita tentu masih ingat bagaimana lucu dan pintarnya
Joshua ketika berumur kurang 3 tahun. Dia muncul di TV sebagai anak
ajaib karena dapat menghapal puluhan nama-nama kepala negara. kemudian
di usia balitanya dia menjadi penyanyi cilik terkenal. Kita kagum
bagaimana seorang bapak yang tamatan SMU dan bekerja di salon dapat
membentuk dan menjadikan anaknya seorang "superkid" --seorang penyanyi
sekaligus seorang bintang film.....

Do-it Yourself Parents
Merupakan kelompok orangtua yang mengasuh anak-anaknya secara alami
dan menyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayanan
professional di bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di
sekolah, di tempat ibadah, di Posyandu dan di perpustakaan. Kelompok
ini menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri yang tidak begitu
mahal dan sesuai dengan keuangan mereka. Walaupun begitu kelompok ini
juga bemimpi untuk menjadikan anak-anaknya "Superkids" --earlier is
better". Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai
lingkungannya. Mereka juga mengajarkan merawat dan memelihara hewan
atau tumbuhan yang mereka sukai. Kelompok ini merupakan kelompok
penyayang binatang, dan mencintai lingkungan hidup yang bersih.

Outward Bound Parents--- (ORTU PARANOID)
Untuk orangtua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan yang
dapat memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan
mereka sederhana, agar anak-anak dapat bertahan di dunia yang penuh
dengan permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan
marabahaya. Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka lebih
memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat tempat tawuran
yang berbahaya. Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini
secara tak disengaja juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep
"Superkids". Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang
hebat agar dapat melindungi diri mereka dari berbagai macam
marabahaya. Terkadang mereka melatih kecakapan melindungi diri dari
bahaya, seperti memasukkan anak-anaknya "Karate, Yudo, pencak Silat"
sejak dini. Ketidakpatutan pemikiran kelompok ini dalam mendidik
anak-anaknya adalah bahwa mereka terlalu berlebihan melihat marabahaya
di luar rumah tangga mereka, mudah panik dan ketakutan melihat situasi
yang selalu mereka pikir akan membawa dampak buruk kepada anak.
Akibatnya anak-anak mereka menjadi "steril"
dengan lingkungannya.

Prodigy Parents --(ORTU INSTANT)
Merupakan kelompok orangtua yang sukses dalam karier namun tidak
memiliki pendidikan yang cukup. Mereka cukup berada, narnun tidak
berpendidikan yang baik. Mereka memandang kesuksesan mereka di dunia
bisnis merupakan bakat semata. Oleh karena itu mereka juga memandang
sekolah dengan sebelah mata, hanya sebagai kekuatan yang akan
menumpulkan kemampuan anak-anaknya.

Tidak kalah mengejutkannya, mereka juga memandang anak-anaknya akan
hebat dan sukses seperti mereka tanpa memikirkan pendidikan seperti
apa yang cocok diberikan kepada anak-anaknya. Oleh karena itu mereka
sangat mudah terpengaruh kiat-kiat atau cara unik dalam mendidik anak
tanpa bersekolah. Buku-buku instant dalam mendidik anak sangat mereka
sukai. Misalnya buku tentang "Kiat-Kiat Mengajarkan bayi Membaca"
karangan Glenn Doman , atau "Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi Matematika"
karangan Siegfried, "Berikan Anakmu pemikiran Cemerlang" karangan
Therese Engelmann, dan "Kiat-Kiat Mengajarkan Anak Dapat Membaca Dalam
Waktu 9 Hari" karangan Sidney Ledson.

Encounter Group Parents--( ORTU NGERUMPI )
Merupakan kelompok orangtua yang memiliki dan menyenangi pergaulan.
Mereka terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada atau
terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang lantung). Terkadang
mereka juga merupakan kelompok orangtua yang kurang bahagia dalam
perkawinannya.

Mereka menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai relationship dalam
membina hubungan dengan orang lain. Sebagai akibatnya kelompok ini
sering melakukan ketidakpatutan dalam mendidik anak-­anak dengan
berbagai perilaku "gang ngrumpi" yang terkadang mengabaikan anak.
Kelompok ini banyak membuang-buang waktu dalam kelompoknya sehingga
mengabaikan fungsi mereka sebagai orangtua. Atau pun jika mereka
memiliki aktivitas di kelompokya lebih berorientasi kepada kepentingan
kelompok mereka. Kelompok ini sangat mudah terpengaruh dan latah untuk
memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya. Menjadikan anak-anak mereka
sebagai "Superkids" juga sangat diharapkan. Namun banyak dari anak
anak mereka biasanya kurang menampilkan minat dan prestasi yang
diharapkan.

Milk and Cookies Parents-(ORTU IDEAL)
Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa
kanak-kanak yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang
sehat dan manis. Mereka cenderung menjadi orangtua yang hangat dan
menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan
mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan.

Kelompok ini tidak berpeluang menjadi oraugtua yang melakukan
"miseducation" dalam merawat dan mengasuh anak-anaknya. Mereka
memberikan lingkungan yang nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh
perhatian, dan tumpahan cinta kasih yang tulus sebagai orang tua.

Mereka memenuhi rumah tangga mereka dengan buku-buku, lukisan dan
musik yang disukai oleh anak-anaknya. Mereka berdiskusi di ruang
makan, bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi
anak-anak mereka untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak
mereka pun meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah
yang menyebabkan. Kehangatan hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan
rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri dan antusias dalam
kehidupan belajar.

Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang menjalankan tugasnya
dengan patut kepada anak-anak mereka. Mereka begitu yakin bahwa anak
membutuhkan suatu proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri
keistimewaan yang dimilikinya. Dengan kata lain mereka percaya bahwa
anak sendirilah yang akan menemukan sendiri kekuatan di dirinya. Bagi
mereka setiap anak adalah benar-benar seorang anak yang hebat dengan
kekuatan potensi yang juga berbeda dan unik!

Kamu harus tahu bahwa tiada satu pun yang lebih tinggi, atau lebih
kuat, atau lebih baik, atau pun lebih berharga dalam kehidupan nanti
daripada kenangan indah; terutama kenangan manis di masa kanak-kanak.
Kamu mendengar banyak hal tentang pendidikan, namun beberapa hal yang
indah, kenangan berharga yang tersimpan sejak kecil adalah mungkin itu
pendidikan yang terbaik. Apabila seseorang menyimpan banyak kenangan
indah di masa kecilnya, maka kelak seluruh kehidupannya akan
terselamatkan. Bahkan apabila hanya ada satu saja kenangan indah yang
tersiampan dalam hati kita, maka itulah kenangan yang akan memberikan
satu hari untuk keselamatan kita" (destoyevsky' s brothers karamoz)

PERSPEKTIF SEKOLAH YANG MENGKARBIT ANAK
Kecenderungan sekolah untuk melakukan pengkarbitan kepada anak
didiknya juga terlihat jelas. Hal ini terjadi ketika sekolah
berorientasi kepada produk daripada proses pembelajaran. Sekolah
terlihat sebagai sebuah "Industri" dengan tawaran-tawaran menarik yang
mengabaikan kebutuhan anak. Ada program akselerasi, ada program kelas
unggulan. Pekerjaan rumah yang menumpuk. Tugas-tugas dalam bentuk
hanya lembaran kerja. Kemudian guru-guru yang sibuk sebagai "Operator
kurikulum" dan tidak punya waktu mempersiapkan materi ajar karena
rangkap tugas sebagai administrator sekolah. Sebagai guru kelas yang
mengawasi dan mengajar terkadang lebih dari 40 anak, guru hanya dapat
menjadi "pengabar isi buku pelajaran" ketimbang menjalankan fungsi
edukatif dalam menfasilitasi pembelajaran. Di saat-saat tertentu
sekolah akan menggunakan "mesin-mesin dalam menskor" capaian prestasi
yang diperoleh anak setelah diberikan ujian berupa potongan-potongan
mata pelajaran. Anak didik menjadi dimiskinkan dalam menjalani
pendidikan di sekolah. Pikiran mereka diforsir untuk menghapalkan atau
melakukan tugas-tugas yang tidak mereka butuhkan sebagai anak.

Manfaat apa yang mereka peroleh jika guru menyita anak membuat bagan
organisasi sebuah birokrasi? Manfaat apa yang dirasakan anak jika
mereka diminta membuat PR yang menuliskan susunan kabinet yang ada di
pemerintahan? Manfaat apa yang dimiliki anak jika ia disuruh menghapal
kalimat-kalimat yang ada di dalam buku pelajaran? Tumpulnya rasa dalam
mencerna apa yang dipikirkan oleh otak dengan apa yang direfleksikan
dalam sanubari dan perilaku-perilaku keseharian mereka sebagai anak
menjadi semakin senjang. Anak-anak tahu banyak tentang pengetahuan
yang dilatihkan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam
kurikulum persekolahan, namun mereka bingung mengimplementasikan dalam
kehidupan nyata. Sepanjang hari mereka bersekolah di sekolah untuk
sekolah? dengan tugas-tugas dan PR yang menumpuk....

Namun sekolah tidak mengerti bahwa anak sebenarnya butuh bersekolah
untuk menyongsong kehidupannya! Lihatlah, mereka semua belajar dengan
cara yang sama. Membangun 90 % kognitif dengan 10 % afektif. Paulo
Freire mengatakan bahwa sekolah telah melakukan "pedagogy of the
oppressed" terhadap anak-anak didiknya. Di mana guru mengajar, anak
diajar, guru mengerti semuanya dan anak tidak tahu apa-apa, guru
berpikir dan anak dipikirkan, guru berbicara dan anak mendengarkan,
guru mendisiplin dan anak didisiplin, guru memilih dan mendesakkan
pilihannya dan anak hanya mengikuti, guru bertindak dan anak hanya
membayangkan bertindak lewat cerita guru, guru memilih isi program dan
anak menjalaninya begitu saja, guru adalah subjek dan anak adalah
objek dari proses pembelajaran (Freire,1993) . Model pembelajaran
banking system ini dikritik habis-habisan sebagai masalah kemanusiaan
terbesar. Belum lagi persaingan antar sekolah. dan persaingan ranking
wilayah....

Mengkompetensi Anak--- merupakan " KETIDAKPATUTAN PENDIDIKAN"
Anak adalah anugrah Tuhan... sebagai hadiah kepada semesta alam,
tetapi citra anak dibentuk oleh sentuhan tangan-tangan manusia dewasa
yang bertanggungjawab. "(Nature versus Nurture) bagaimana ?" Karena
ada dua pengertian kompetensi. kompetensi yang datang dari kebutuhan
di luar diri anak (direkayasa oleh orang dewasa) atau kompetensi yang
sesuai dengan kebutuhan dari dalam diri anak sendiri.

Sebagai contoh adalah konsep kompetensi yang dikemukakan oleh John
Watson (psikolog) pada tahun 1920 yang mengatakan bahwa bayi dapat
ditempa menjadi apapun sesuai kehendak kita; sebagai komponen sentral
dari konsep kompetensi. Jika bayi-bayi mampu jadi pembelajar, maka
mereka juga dapat dibentuk melalui pembelajaran dini.

Kata-kata Watson yang sangat terkenal adalah sebagai berikut : "Give
me a dozen healthy infants, well formed and my own special world to
bring them up in, and I'll guarantee you to take any one at random and
train him to become any type of specialist I might select -- doctor,
lawyer, artist, merchant chief and yes, even beggar and thief
regardless of this talents, penchants, tendencies, vocations, and race
of his ancestors "

Pemikiran Watson membuat banyak orang tua melahirkan "intervensi dini"
setelah mereka melakukan serangkaian tes Inteligensi kepada
anak-anaknya. Ada sebuah kasus kontroversi yang terjadi di Institut
New Jersey pada tahun 1979. Dimana guru-guru melakukan serangkaian
program tes untuk mengukur "Kecakapan Dasar Minimum (Minimum Basic
Skill)" dalam mata pelajaran membaca dan matematika. Hasil dari
pelaksanaan program ini dilaporkan kolomnis pendidikan Fred Hechinger
kepada New York Times sebagai berikut : "The improvement in those
areas were not the result of any magic program or any singular
teaching strategy, they were.... simply proof that accountability is
crucial and that, in the past five years, it has paid off in New Yersey"

Juga belajar dari biografi tiga orang tokoh legendaris dunia seperti
Eleanor Roosevelt, Albert Einstein dan Thomas Edison, yang
diilustrasikan sebagai anak-anak yang bodoh dan mengalami
keterlambatan dalam akademik ketika mereka bersekolah di SD kelas
rendah. Semestinya kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dini
sangat berbahaya jika dibuatkan kompetensi-kompeten si perolehan
pengetahuan hanya secara kognitif.

Oleh karena hingga hari ini sekolah belum mampu menjawab dan dapat
menampilkan kompetensi emosi sosial anak dalam proses pembelajaran.
Pendidikan anak seutuhnya yang terkait dengan berbagai aspek seperti
emosi, sosial, kognitif pisik, dan moral belum dapat dikemas dalam
pembelajaran di sekolah secara terintegrasi. Sementara pendidikan
sejati adalah pendidikan yang mampu melibatkan berbagai aspek yang
dimiliki anak sebagai kompetensi yang beragam dan unik untuk
dibelajarkan. Bukan anak dibelajarkan untuk di tes dan di skor saja!.
Pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang
berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus
menerus merawat minat dan keingintahuan untuk belajar. Anak mengenali
tumbuh kembang yang terjadi secara berkelangsungan dalam kehidupannya.
Perilaku keingintahuan -"curiosity" inilah yang banyak tercabut dalam
sistem persekolahan kita. Akademik Bukanlah Keutuhan Dari Sebuah
Pendidikan!. "Empty Sacks will never stand upright" --- George Eliot

Pendidikan anak seutuhnya tentu saja bukan hanya mengasah kognitif
melalui kecakapan akademik semata! Sebuah pendidikan yang utuh akan
membangun secara bersamaan, pikiran, hati, pisik, dan jiwa yang
dimiliki anak didiknya. Membelajarkan secara serempak pikiran, hati..
dan pisik anak akan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup
mereka. Di sinilah dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik
akademik dan pendidik sanubari "karakter". Di mana mereka mendidik
anak menjadi "good and smart " terang hati dan pikiran.

Sebuah pendidikan yang baik akan melahirkan "how learn to learn" pada
anak didik mereka. Guru-guru yang bersemangat memberi keyakinan kepada
anak didiknya bahwa mereka akan memperoleh kecakapan berpikir tinggi,
dengan berpikir kritis, dan cakap memecahkan masalah hidup yang mereka
hadapi sebagai bagian dari proses mental. Pengetahuan yang terbina
dengan baik yang melibatkan aspek kognitif dan emosi, akan melahirkan
berbagai kreativitas.

Leonardo da Vinci seorang pelukis besar telah menghabiskan waktunya
berjam-jam untuk belajar anatomi tubuh manusia. Thomas Edison
mengatakan bahwa "genius is 1 percent inspiration and 99 percent
perspiration ".

Semangat belajar "encourage" tidak dapat muncul tiba-tiba di diri
anak. Perlu proses yang melibatkan hati, kesukaan dan kecintaan
belajar. Sementara di sekolah banyak anak patah hati karena gurunya
yang tidak mencintai mereka sebagai anak. Selanjutnya misi sekolah
lainnya yang paling fundamental adalah mengalirkan "moral litermy"
melalui pendidikan karakter. Kita harus ingat bahwa kecerdasan saja
tidak cukup. Kecerdasan plus karakter inilah tujuan sejati sebuah
pendidikan (Martin Luther King, Jr ). lnilah keharmonisan dari
pendidikan, bagaimana menyeimbangkan fungsi otak kiri dan kanan,
antara kecerdasan hati dan pikiran, antara pengetahuan yang berguna
dengan perbuatan yang baik ....

PENUTUP
Mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang
terang hati dan terang pikiran "good and smart" merupakan tugas kita
bersama. Melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras
yang mesti dilakukan secara serempak, antara sekolah dan masyarakat,
khususnya antara guru dan orangtua. Pendidikan yang ada sekarang ini
banyak yang tidak berorientasi kepada kebutuhan anak sehingga tidak
dapat memekarkan segala potensi yang dimiliki anak. Atau pun jika ada
yang terjadi adalah ketidakseimbangan yang cenderung memekarkan aspek
kognitif dan mengabaikan faktor emosi.

Begitu juga orangtua. Mereka berkecenderungan melakukan training dini
kepada anak. Mereka ingin anak-anak mereka menjadi "SUPERKIDS". Inilah
fenomena yang sedang trend akhir-akhir ini. Inilah juga awal dari
lahirnya era anak-anak karbitan! Lihatlah nanti ketika anak-anak
karbitan itu menjadi dewasa, maka mereka akan menjadi orang dewasa
yang ke kanak-kanakan.